Pagelaran Festival Gandrung Sewu 2018 kembali digelar pada Sabtu, 20710/2018 di Pantai Boom. Gandrung Sewu merupakan salah satu agenda dalam kalender pariwisata tahunan Kabupaten Banyuwangi yang dikemas dalam tajuk Banyuwangi Festival.
Pesona Gandrung Sewu (via https://www.instagram.com/badbudi) |
Berikut fakta-fakta tentang pertunjukan drama tari Gandrung Sewu 2018 yang kali ini mengangkat tema Layar Kumendung.
Gandrung Sewu-Layar Kumendung
Pagelaran Gandrung Sewu 2018 berlangsung sukses dan menuai banyak pujian
Gandrung Sewu 2018 bertema Layar Kumendung mengundang banyak pujian (via https://www.instagram.com/gadisalvianti__13) |
Ribuan wisatawan yang hadir di Pantai Boom terhipnotis oleh gerak rampak para penari Gandrung berkostum merah menyala
dengan latar belakang Selat Bali.
"Saya salut dengan Banyuwangi. Lagi-lagi Banyuwangi
menunjukkan kelasnya sebagai destinasi dengan kreativitas luar biasa,"
ujar Menteri Pariwisata Arief Yahya saat membuka acara.
"Jawa Timur adalah daerah kaya seni-budaya, dan
Banyuwangi telah terbukti mampu mengolahnya untuk memajukan daerah serta
memberi manfaat ekonomi untuk warga," ujar Gus Ipul, Wagub Jawa Timur, yang juga hadir.
"Banyuwangi berhasil mengubah dirinya dengan inovasi
berkelanjutan," ujar Prof Renald Kasali, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia.
Gandrung adalah aset berharga Banyuwangi
Denny Malik menikmati tarian Gandrung di amphiteater Gandrung Terakota (via Detik.com) |
Penegasan ini dilontarkan Denny Malik, koreografer yang merancang tarian pembukaan Asian Games 2018, yang turut menyaksikan Gandrung Sewu.
Menurutnya, Gandrung dan Banyuwangi sangat eksotis. Gandrung memiliki kekhasan dan sangat menarik untuk suguhan entertainment. Beruntung Banyuwangi memiliki tari gandrung.
"Tari gandrung itu adalah aset berharga bagi Banyuwangi. Tidak hanya sebagai budaya. Gandrung adalah bagian dari ikon, heritage, dan histori Banyuwangi," kata Denny seperti dikutip dari detikTravel.
Gandrung Sewu 2018 melibatkan lebih dari seribu penari Gandrung profesional dan amatir lokal Banyuwangi
Lebih dari seribu penari Gandrung menari dengan latar Selat dan Pulau Bali (via Detik.com.com) |
Menurut informasi media, pertunjukan Gandrung Sewu 2018 ini melibatkan tak kurang 1.301 orang, yang terdiri dari 1.173 penari Gandrung, 64 penampil fragmen, dan 65 pemusik. Pertunjukan ini berlangsung dalam waktu 1 jam 30 menit dengan latar belakang Selat Bali yang indah.
Penonton tidak hanya disuguhi kemegahan tarian, tapi
juga fragmen drama kepahlawanan yang menyertainya. Koreografi tarian berbaur fragmen drama Layar Kumendung dengan perbandingan 70 persen tarian dan 30 persen fragmen, membuat pertunjukan ini sangat menarik.
Gandrung Sewu 2018 diawali penampilan seni hadrah Kuntulan
Penampilan seni hadrah Kuntulan di Gandrung Sewu 2018 (via https://www.facebook.com/rondo.banyuwangen) |
Seni Hadrah Kuntulan mengawali pertunjukan Gandrung Sewu 2018, yang dibawakan oleh 150 penari dan penabuh rebana. Para penarinya menampilkan koreografi yang didominasi permainan tangan dan badan.
Mereka juga melantunkan bait-bait pujian Islami dengan
alunan musik hadrah. Didalamnya terselip doa dan permohonan ampunan seorang
hamba kepada Sang Khalik, serta memohon keselamatan dunia akhirat.
Di Banyuwangi, Tari Kuntulan biasanya tampil pada waktu
peringatan hari besar keagamaan. Para penarinya menampilkan tari Rodat, dengan
memakai kerudung, sarung tangan, dan kaus kaki.
Selain itu, setiap tahun Banyuwangi juga menggelar Festival
Kuntulan yang mempertemukan berbagai kelompok musik Islami dari seluruh
Banyuwangi. Para penari Kuntulan yang tampil di Gandrung Sewu 2018 ini berasal dari Sanggar Langlang Buana, yang menjuarai Festival Kuntulan Banyuwangi 2018.
Inti cerita Layar Kumendung dalam Festival Gandrung Sewu 2018 mengisahkan kepahlawanan Bupati pertama Banyuwangi, Mas Alit, dalam menghadapi penjajah Belanda
Festival Gandrung Sewu 2018 mengambil tema Layar Kumendung. Arti dari Layar kumendung yaitu perahu yang mempunyai layar bertumpuk-tumpuk serta berjajar-jajar yang kelihatan megah dan agung, mirip seperti perahu pinisi. Di masa kompeni Belanda (yang dibantu Mataram dan Madura) dalam upaya merebut Blambangan dari kekuasaan Mengwi, banyak perahu-perahu megah berlayar yang setiap saat hilir-mudik di Selat Bali. (sumber) Hal ini mungkin yang kemudian diangkat dalam syair lagu Layar Kumendung.
Menurut Fatrah Abal dalam buku “Gandrung itu bukan seblang”, bait-bait “Layar Kumendung” sebagai bagian atau patahan lagu “Sekar Jenang” yang dijadikan lagu baru yang dinamakan “Layar Kumendung”. Di kalangan seniman Banyuwangi, tradisi memotong lirik dan lagu merupakan hal yang sangat lazim. (sumber)
Layar Kumendung merupakan salah satu judul tembang yang menjadi pengiring pada tari Gandrung. Tema ini masih berkaitan dengan tema Gandrung Sewu di tahun-tahun sebelumnya yang juga mengangkat gending-gending pengiring Gandrung seperti Podo Nonton, Seblang Lukinto, dan Kembang Pepe.
Fragmen Gandrung Sewu Layar Kumendung mengisahkan kepahlawanan Raden Mas Alit, Bupati pertama Banyuwangi, dalam menentang pendudukan VOC Belanda.
Pada 24 Oktober 1774 Bupati Mas Alit memindahkan pusat pemerintahan dari Benculuk ke Banyuwangi pada 24 Oktober 1774. Hal tersebut dilakukan untuk memperkuat pemerintahan ketika Kongsi Dagang Belanda VOC mulai berkuasa.
Fragmen pertempuran antara pejuang Banyuwangi melawan pasukan VOC (via https://www.instagram.com/epen_asiiek) |
Saat itulah beberapa penari Gandrung lawas mencoba menghibur
dengan melatih tari Gandrung anak yatim pejuang Blambangan. Mereka juga
memberikan semangat para generasi muda untuk melanjutkan hidup dengan bahagia.
Gandrung Sewu Layar Kumendung (via https://www.instagram.com/roni.images) |
Gerak atraksi para penari Gandrung Sewu (via https://www.instagram.com/epen_asiiek) |
Gerak gemulai para penari Gandrung (via https://www.instagram.com/gde_adisutayana_anargya_s) |
Tari Gandrung menjadi salah satu bentuk perlawanan dari
masyarakat Blambangan kala itu untuk bergerilya mengumpulkan masyarakat Osing
yang tercerai berai akibat peperangan
Tak hanya itu, penari Gandrung lawas juga meminta kepada
generasi muda itu untuk melestarikan budaya dan tradisi. Karena Gandrung juga
merupakan pahlawan dalam perjuangan melawan penjajah.
"Jangan sampai Gandrung punah. Jangan sampai ada yang
menghancurkan budaya," ujar salah satu pemain fragmen.
"Dengan ilmu hidup kita lebih mudah, dengan seni hidup
lebih indah, dengan agama hidup lebih terarah. Masuk Pak Eko," tambah
pemain fragmen tersebut.
Sementara itu, Mas Alit berada dalam posisi sulit karena
sejumlah kerabatnya mendukung VOC. Dia tidak mungkin melawan kerabatnya
sendiri, tapi di sisi lain dia bersama rakyat Banyuwangi ingin lepas dari
penjajahan Belanda.
VOC kemudian membujuk dan mengundang Mas Alit dalam sebuah
pertemuan Bupati di Semarang. Mas Alit berpikir pertemuan tersebut bisa menjadi
upaya diplomatik untuk menyampaikan keinginan masyarakat Banyuwangi. Padahal
hal itu hanyalah sebuah tipu daya belaka.
Kepergian Mas Alit ke Semarang dengan menumpang kapal
berbendera Belanda. Rakyat Banyuwangi mengantar kepergiannya dengan penuh
kesedihan dan ternyata menjadi perjumpaan terakhir karena kapal yang ditumpangi
Mas Alit di hadang oleh perompak dan Mas Alit tewas di Sedayu Gresik.
Kuat dugaan, Mas Alit dijebak dan dibunuh karena memimpin
pemberontakan rakyat Banyuwangi.
Gugurnya Raden Mas Alit dalam ekspedisi pelayaran (layar)
tersebut meninggalkan kesedihan (Kumendung) yang mendalam bagi rakyat
Banyuwangi.
Mereka hanya bisa berdoa, untuk mengenang atas perjuangan
Mas Alit membela rakyat Banyuwangi.
Doa dan Salawat pun dilantunkan untuk Mas Alit oleh para
penari Gandrung dan pemain fragmen.
Banyuwangi boleh maju dan terus berkembang tapi kebudayaan kami tidak boleh terpinggirkan ditengah kemajuan-kemajuan yang Insyaallah akan dicapai oleh Banyuwangi
Gandrung Sewu sebagai salah satu wujud nyata partisipasi publik dalam pembangunan pariwisata Banyuwangi (via https://www.instagram.com/hartono_ant) |
Pernyataan tersebut ditegaskan Bupati Azwar Anas dalam pembukaan Gandrung Sewu 2018 di Pantai Boom.
Komitmen Bupati Anas menjadikan seni dan budaya lokal
Banyuwangi menjadi tuan rumah di negeri sendiri memang tak diragukan. Setiap
pembangunan di Banyuwangi, seperti pendirian hotel, wajib mengadopsi nilai-nilai budaya lokal. Desainnya harus merepresentasikan kearifan lokal Banyuwangi.
Di Banyuwangi, kegiatan kesenian lokal benar-benar mendapat
tempat yang istimewa, salah satunya lewat pagelaran Gandrung Sewu yang telah
memasuki tahun ke delapan. Selain itu berbagai seni budaya lokal diangkat secara terhormat dalam wadah kegiatan Banyuwangi Festival.
Visi membangun daerah berbasis pariwisata dengan modal kekuatan identitas lokal dan mendorong peran serta aktif masyarakat, terbukti membuahkan hasil dengan dicapainya berbagai prestasi dan penghargaan di tingkat nasional maupun internasional.
Bendera Belanda diatas kapal yang memancing perbincangan Netizen
Bendera diatas replika kapal menjadi perdebatan netizen (via https://www.instagram.com/gadisalvianti__13) |
Di akun Instagram dan grup Facebook banyak dilontarkan hal serupa. Diskusi pun diwarnai pendapat pro dan kontra perihal bendera VOC tersebut.
Banyak juga yang bersikap netral dan mencoba memberikan penjelasan soal bendera ini secara kontekstual dengan kisah Layar Kumendung.
Intinya adalah kisah Layar Kumendung ini terjadi di masa penjajahan VOC di tahun 1774, kurun waktu yang jauh sebelum Indonesia merdeka.
Kehadiran bendera VOC semata sebagai properti pelengkap
sesuai kisah dalam Layar Kumendung.
Dan kisah Layar Kumendung belum selesai, masih ada kelanjutan ceritanya di tahun berikutnya ...
Hadirnya ribuan wisatawan di Festival Gandrung Sewu menjadi berkah ekonomi bagi warga Banyuwangi. Efek dominonya pun kemana-mana, ekonomi Banyuwangi pun menggeliat, mulai hotel, pengusaha rental, para driver yang disewa wisatawan, warung-warung, pusat oleh-oleh dan lain-lain kecipratan rejeki
Gandrung Sewu terbukti mampu membawa dampak ekonomi yang signifikan. Dilaporkan Kompas.com, sehari sebelum acara berlangsung, sebanyak 1.644 penumpang turun di Bandara Banyuwangi, mencetak rekor penumpang terbanyak sejak bandara dibuka pada tahun 2010. Sedangkan di hari berlangsungnya Gandrung Sewu, terdapat 1.545 penumpang. Sehingga selama 2 hari, 19-20 Oktober 2018, sebanyak 3.191 penumpang mendarat di Banyuwangi. Belum terhitung yang datang ke Banyuwangi lewat jalur darat.
Imbasnya, tingkat hunian hotel baik bintang maupun non-bintang di Banyuwangi meningkat tajam hingga 90 persen lebih, termasuk homestay, menuai panen.
Punya Nilai 3C, Gandrung Sewu masuk lagi dalam 100 Besar Kalender Wisata Nasional 2019
Festival Gandrung Sewu masuk lagi (via https://www.instagram.com/sanggarsenimekararum) |
Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya memastikan Festival
Gandrung Sewu akan kembali masuk 100 Calendar of Event nasional 2019 bersanding
dengan event budaya lain di Indonesia.
Tentu pertimbangannya bukan semata karena sang menteri
berasal dari Banyuwangi. Kualitas pelaksanaan Gandrung Sewu terus menunjukkan
peningkatan menjadi salah satu acuan penilaian tim kurator Kemenpar.
Untuk masuk top 100 kalender event nasional tidaklah mudah.
Sebab sebuah event harus bersaing dengan lebih dari 200 event lain
se-Indonesia.
Gandrung Sewu lolos penilaian tim kurator dan dinyatakan
layak masuk dalam Top 100 Calendar of Events karena memiliki keunggulan dari
tiga nilai sebuah pertunjukan seni yang baik.
Nilai itu adalah 3C,
yaitu Creativity, Cultural, dan Commercial.
"Gandrung Sewu ini sangat kreatif. Mulai dari jumlah
penampilnya yang kolosal, konfigurasi tarinya apik kelas dunia, dan yang jelas
sangat kameragenik. Indah di kamera, sekaligus indah di offline," kata
Menpar.
Nilai lainnya adalah pertunjukan ini berbasis dan berakar
dari budaya lokal Banyuwangi.
Dan yang paling penting, Gandrung Sewu mampu menggeliatkan
ekonomi daerah.
Faktor lain yang tak kalah penting, ada dukungan yang tinggi
dari kepala daerahnya terhadap sektor pariwisata sangat kuat.
Dari 100 kalender wisata nasional, Banyuwang menyumbang 3
buah event, paling banyak diantara daerah lain. Selain Festival Gandrung Sewu,
ada Banyuwangi Ethno Carnival dan International Tour de Banyuwangi Ijen
(ITdBI).
Bahkan untuk Banyuwangi Ethno Carnival, sebuah karnaval
busana etnik Banyuwangi, masuk dalam TOP
10 Nasional Events (EoE WI) atau 10 Pariwisata Unggulan Indonesia.
Gandrung Sewu 2019 dengan tema Layar Kumendung telah usai, tapi belum selesai.
Gandrung Sewu adalah sebuah pertunjukan drama dan tari yang bersumber dan dikembangkan dari syair tembang pengiring tari Gandrung. Masih banyak tema-tema lain yang menunggu ditampilkan. Gandrung Sewu tidak akan pernah kehabisan cerita.
Sampai jumpa di Festival Gandrung Sewu 2019.
0 komentar:
Posting Komentar