Klenteng Hoo Tong Bio merupakan tempat
peribadatan umat Khonghucu yang tertua di Jawa Timur dan Bali. Tempat Ibadah
Tri Dharma (TITD) Hoo Tong Bio ini terletak di jalan Ikan Gurami 54, di tengah
perkampungan Kelurahan Karangrejo, Banyuwangi. Klenteng ini dibangun oleh
komunitas Tionghoa setempat pada tahun 1784.
Meskipun usianya sudah tua, bangunan klenteng yang dominan
dengan warna merah ini, masih tampak kokoh dan terawat. Selain berfungsi
sebagai tempat ibadah, Klenteng Hoo Tong Bio masuk dalam bagian peninggalan
cagar budaya Indonesia yang dilindungi dan menjadi salah satu aset wisata sejarah
dan religi Kabupaten Banyuwangi.
Kelenteng Hoo Tong Bio, salah satu asset wisata religi di Banyuwangi. |
Klenteng Hoo Tong Bio memiliki luas 3-4 ratus meter per segi dengan tinggi 9 meter dan bisa menampung hingga 500 umat beribadah. Bagi umat Kong Hu Cu di Banyuwangi, Klenteng Hoo Tong Bio menyimpan sejarah panjang, sesuai usia bangunan yang sudah ratusan tahun.
Dalam Babad Notodiningratan disebutkan, etnis Tionghoa mulai menetap di Blambangan berkisar pada tahun 1631M. Namun perpindahan yang masif ke Banyuwangi diduga kuat terjadi pada tahun 1740.
Dalam Babad Notodiningratan disebutkan, etnis Tionghoa mulai menetap di Blambangan berkisar pada tahun 1631M. Namun perpindahan yang masif ke Banyuwangi diduga kuat terjadi pada tahun 1740.
Di Banyuwangi , pemukiman etnis Tionghoa terkonsentrasi di
Kelurahan Tukangkayu dan Kelurahan Karangrejo. Kelurahan Tukangkayu dikenal
dengan daerah Pecinan Kulon (barat) lantaran banyak dihuni oleh imigran yang
berprofesi sebagai tukang kayu. Sedangkan Pecinan Wetan (timur) saat ini
dikenal dengan Kelurahan Karangrejo, tempat berdirinya Klenteng Hoo Tong Bio.
Klenteng Hoo Tong Bio Banyuwangi (via Liputan6.com) |
Klenteng Hoo Tong Bio didirikan sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa seorang kapiten yang bernama Tan Hu Cin Jin. Tan Hu Cin Jin adalah orang mulia yang menyelamatkan etnis Tionghoa di Blambangan pada masa kolonialisme.Diceritakan bahwa Tan Hu Cin Jin atau yang berarti “Manusia
Sejati Tan” yang berasal dari Chaozhou di Provinsi Guangdong, China, merupakan
seorang juragan perahu sloop.
Pada tahun 1740 terjadi pembantaian etnis Tionghoa di
Batavia, hal ini mendorong orang-orang Tionghoa melarikan diri ke berbagai
daerah. Tan Hu Cin Jin dan para pendukungnya memimpin pelarian orang-orang
Tionghoa, tetapi kapalnya terdampar di Banyuwangi dan akhirnya mereka
memutuskan untuk tinggal di Banyuwangi.
Disinilah Tan Hu Cin Jin dipercaya sebagai arsitek kerajaan
Blambangan yang baru di Macan Putih. Namun, sesudah terjadi konflik di kerajaan
Mengwi, Tan Hu Cin Jin dan dua orang Bali memilih tinggal di Puncak
Sembulungan Blambangan dan dipercaya moksa menjadi pelindung orang-orang Tionghoa
di Blambangan.
Atas jasa-jasanya itu dibangunnya Klenteng Hoo Tong Bio yang
bermakna “Kuil Perlindungan Orang Cina” sebagai bentuk penghormatan kepada Tan
Hu Cin Jin yang kemudian ditahbiskan dan disembah sebagai salah satu dewa di
klenteng tersebut. Dewa Tan Hu Cin Jin juga dijuluki dengan Kongco diangkat
sebagai dewa karena dianggap sebagai leluhur yang menyelamatkan orang Tionghoa
di Blambangan pada masa kolonialisme Belanda.
Klenteng Hoo Tong Bio (via Youtube) |
Awalnya Klenteng Hoo Tong Bio ini dibangun di Lateng,
Rogojampi. Bangunan ini masih berupa rumah yang dibangun sederhana. Rumah
penghormatan ini kemudian dipindah ke Banyuwangi setelah adanya perampasan
tanah oleh VOC pada 1767.
Tak ada tahun pasti kapan klenteng ini pertama kali
dibangun. Namun pengelola kelenteng menyandarkan tahun berdirinya Klenteng Hoo
Tong Bio pada sebuah prasasti yang berupa panel kayu bertuliskan kaligrafi
Tiongkok yang merupakan sumbangan dari Huang Bang sebagai ucapan terima kasih.
Dalam prasasti tersebut tertulis nama Tan Hu Cin Jin dan bertanggal
Qianlongflacan yang bertepatan dengan tahun 1784. Ini menjadi dasar penetapan tahun
berdirinya Kelenteng Ho Tong Bio.
Berdasarkan papan kayu yang terdapat di kelenteng tersebut diketahui kelenteng Ho Tong Bio mengalami beberapa kali renovasi. Beberapa era renovasi tersebut antara lain adalah pada 1848 M dan 1898/99 M.
Berdasarkan papan kayu yang terdapat di kelenteng tersebut diketahui kelenteng Ho Tong Bio mengalami beberapa kali renovasi. Beberapa era renovasi tersebut antara lain adalah pada 1848 M dan 1898/99 M.
Pagoda di Klenteng Hoo Tong Bio (via Banyuwangitourism) |
Dalam perkembangannya, Klenteng Hoo Tong Bio ini menjadi
klenteng induk untuk beberapa klenteng yang menyembah Dewa Tan Hu Cin Jin yang
tersebar di Besuki, Probolinggo, Jembrana, Tabanan, Kuta dan Lombok.
Selama periode pemerintahan orde baru (1965-1998), perkembangan
klenteng dan juga etnis Tionghoa mengalami masa suram. Tragedi kemanusiaan pada
tahun 1965 yang melibatkan PKI, membuat pemerintah melakukan diskriminasi
terhadap etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa dituduh memiliki peranan dalam
pemberontakan PKI. Setidaknya ada delapan aturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah orde baru yang diskriminiatif terhadap etnis Tionghoa .
Peraturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa itu sangat
berpengaruh besar dalam kehidupan sosial budayanya. Termasuk kalangan etnis
Tionghoa di Banyuwangi. Etnis Tionghoa tidak bisa leluasa melaksanakan ibadah
di klenteng. Perayaan dan pemujaan, seperti Cap Go Meh dan Liang Leong tidak
lagi bisa ditampilkan.
Agama Kong Hu Cu tidak diakui secara resmi. Termasuk
penggunaan nama pribadi dan klenteng berbahasa mandarin juga harus diganti.
Pada tahun 1966 nama Kelenteng Hoo Tong Bio tidak boleh
digunakan dan harus diganti menjadi Nara Raksita. Begitu juga penggunaan
berbahasa Mandaring di sekolah dilarang. Hal ini menjadi masalah karena doa
yang digunakan di Kelenteng menggunakan bahasa tersebut.
Baru setelah era pemerintahan Gus Dur, kondisinya berubah.
Pada tahun 2003 Presiden KH Abdurrahman Wahid mencabut Instruksi Presiden no.
14 tahun 1967 yang mengekang kebebasan politik dan sosial warga Tionghoa.
Pembangunan dan segala aktivitas klenteng kembali normal. Nama
Kelenteng Hoo Tong Bio boleh digunakan kembali dan bahasa Mandarin boleh
digunakan lagi secara umum.
Klenteng Hoo Tong Bio melakukan renovasi besar-besaran.
Tidak hanya menambah beberapa altar untuk melakukan pemujaan kepada dewa-dewi,
tapi gedung-gedung penunjang juga dibangun. Ruang serba guna, sarana olahraga,
dan gudang juga dibangun dikompleks seluas 70 x 50 meter tersebut. Pembangunan
yang masif tersebut menasbihkan klenteng Hoo Tong Bio sebagai klenteng terbesar
di ujung timur pulau Jawa.
Setiap awal Tahun Baru Imlek, Klenteng Hoo Tong Bio
melakukan ritual tolak bala (Hokkien=ci suak) dan ulang tahun bertahtanya
Kongco Chen Fu Zhen Ren sebagai dewa utama di Hoo Tong Bio. Perayaan ulang tahun diwarnai
pluralisme kebudayaan dan seringkali menampilkan pertunjukan lokal seperti
barongan, reog (Ponorogo), dan wayang kulit. Selain itu, juga dilakukan
kegiatan sosial seperti donor darah, berbagai pertandingan olahraga, dan
pembagian sembako kepada masyarakat kurang mampu.
Pada tahun 2014 Kelenteng Hoo Tong Bio pernah mengalami
kebakaran hebat. Akibat kebakaran tersebut, bangunan peribadatan utama dan
beberapa bangunan lain ludes dilalap api, termasuk patung-patung dewa yang berada
didalam klenteng tak terselamatkan.
Kebakaran yang pernah terjadi pada 2014 (via Detik.com) |
Banyak pihak yang menyesalkan terjadinya kebakaran tersebut. Mengingat Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Klenteng Hoo Tong Bio adalah salah satu destinasi wisata sejarah dan cagar budaya Banyuwangi. Klenteng Hoo Tong Bio ini merupakan satu-satu bangunan sejarah yang masih utuh di Banyuwangi. Namun kebakaran telah menghilangkan jejak sejarah itu.
Klenteng bersejarah di Banyuwangi ini bahkan menjadi magnet bagi wisatawan mancanegara dalam paket City Tour yang dijual oleh travel agent ataupun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi. Biasanya setelah berkeliling dari Asrama Inggris, Pasar Banyuwangi, para turis asing tersebut akan menyempatkan diri mampir ke Klenteng Hoo Tong Bio. Bentuk bangunan kuno Klenteng Hoo Tong Bio yang masih berdiri kokoh ini menjadi daya tarik para turis asing.
Pasca kebakaran, renovasi Klenteng Hoo Tong Bio segera dilakukan dan saat ini bangunan Klenteng Hoo Tong Bio sudah berdiri kembali. Klenteng Hoo Tong Bio bukan semata tempat ibadah umat Kong Hu Cu, tapi juga terbuka bagi siapapun yang ingin mengunjunginya. Lokasinya yang berada di tengah kota, memudahkan siapa saja untuk mendatanginya. Apalagi letaknya berdekatan dengan Pulau Santen. Ibaratnya, sekali jalan Anda bisa mendapatkan keduanya.
Pasca kebakaran, renovasi Klenteng Hoo Tong Bio segera dilakukan dan saat ini bangunan Klenteng Hoo Tong Bio sudah berdiri kembali. Klenteng Hoo Tong Bio bukan semata tempat ibadah umat Kong Hu Cu, tapi juga terbuka bagi siapapun yang ingin mengunjunginya. Lokasinya yang berada di tengah kota, memudahkan siapa saja untuk mendatanginya. Apalagi letaknya berdekatan dengan Pulau Santen. Ibaratnya, sekali jalan Anda bisa mendapatkan keduanya.
0 komentar:
Posting Komentar