Pagelaran Makarya - Kecamatan Songgon yang berada di lereng Gunung Raung di barat laut Banyuwangi, memiliki potensi obyek wisata alam yang menarik. Diantaranya yang sudah banyak dikenal adalah Air Terjun Lider, Rowo Bayu, arung jeram dan Hutan Pinus Songgon. Namun ini hanya sebagian dari banyak kekayaan alam Songgon yang masih dalam proses pengembangan sebagai obyek wisata andalan.
Tak hanya alamnya yang indah, Songgon juga memiliki keanekaragaman seni budaya yang pantas diangkat secara luas.
Tak tanggung-tanggung, Makarya digelar selama tiga hari tiga malam di kaki Gunung Raung dengan sejumlah agenda yang padat. Berbagai pertunjukan seperti tari jaran goyang, gandrung, pencak silat, wayang osing, musik lesung dan berbagai kearifan lokal lain ditampilkan dalam waktu tiga hari.
Kegiatan itu diawali dengan ruwatan massal oleh Dalang Sentot dari Desa Sragi, Kecamatan Songgon, diskusi budaya, workshop, bazaar-pameran, serta panggung seni yang akan menampilkan pagelaran wayang kulit, kesenian tradisional dari Songgon dan sekitarnya, kesenian kontemporer dari Japung Nusantara, serta kesenian kontemporer dari mancanegara. Ada juga pengelolaan dan daur ulang sampah botol plastik serta pameran produk hasil UMKM setempat.
Panggung pertunjukan Makarya di Hutan wisata Pinus Songgon (sumber : Antarajatim.com) |
Tak hanya alamnya yang indah, Songgon juga memiliki keanekaragaman seni budaya yang pantas diangkat secara luas.
Atas inisiatif dari para pemuda Songgon yang tergabung dalam
Komunitas Karo Adventure dan didukung oleh komunitas Hidora Merdeka, Japung
Nusantara dan pemerintah Kecamatan Songgon, mereka menggelar rangkaian acara
bertema Makarya (Masyarakat Kaki Raung Berkarya).
Sebanyak masyarakat dari 9 desa di Kecamatan Songgon,
Kabupaten Banyuwangi, terlibat dalam kegiatan ini. Sembilan desa itu adalah
Balak, Bayu, Badewang, Bangunsari, Parangharjo, Songgon, Sragi, Sumberarum dan
Sumberbulu.
Acara ini dimaksudkan untuk mengangkat kembali kesenian dan
budaya warga Songgon yang selama ini hilang. Juga membangkitkan kembali nilai
gotong-royong antar masyarakat agar bisa tetap lestari.
"Pagelaran Makarya adalah sebuah media menggali potensi
kearifan masyarakat, potensi sumber daya alam, potensi seni budaya, sehingga
kegiatan ini merupakan upaya untuk mengumpulkan dan menjejaringkan rangkaian
potensi yang ada di masyarakat kaki Gunung Raung," kata Bachtiar
Djanan, panitia pagelaran Makarya.
Menurutnya pagelaran Makarya adalah aktifitas membangun
kebersamaan warga di sembilan desa di kaki Gunung Raung dengan cara
bergotong-royong, bersinergi, tidak berharap upah,dan tidak berharap
untung.
Melalui Makarya itu berbagai potensi masyarakat seperti seni
budaya, ritual dan tradisi, kuliner tradisional, potensi hasil bumi, hasil
hutan, dan produk-produk kerajinan ditampilkan.
Potensi seni masyarakat ditampilkan dalam Makarya (sumber : Facebok.com) |
Tak tanggung-tanggung, Makarya digelar selama tiga hari tiga malam di kaki Gunung Raung dengan sejumlah agenda yang padat. Berbagai pertunjukan seperti tari jaran goyang, gandrung, pencak silat, wayang osing, musik lesung dan berbagai kearifan lokal lain ditampilkan dalam waktu tiga hari.
Bukan hanya potensi seni budaya lokal yang terlibat dalam
pagelaran ini. Banyak seniman pengisi acara, fotografer, bloger, jurnalis, dan
wisatawan mancanegara yang hadir dalam kegiatan tersebut. Jumlahnya sekitar 32
orang yang berasal dari Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Australia, Bosnia,
Republik Ceko, New Zealand, Kanada, Spanyol, Jepang, dan Belanda.
Panitia juga mengundang seniman, fotografer, pembuat film
dokumenter bloger, jurnalis, dari berbagai kota di Indonesia, terutama dari
Jaringan Kampung Nusantara tercatat sebanyak 46 orang.
Seniman luar daerah yang turut mengisi acara dengan sukarela
merupakan seniman yang tergabung dalam Jaringan Kampung (Japung) Nusantara
diantaranya Traveller Akustik dari Malang, Momon Karman pemain seruling dari
Bandung, Redy Eko Prasetyo musisi dawai dari Malang, Alif Flamenco gitaris dari
Bandung dan lain-lain.
Sementara itu musisi asing yang turut berpartisipasi
diantaranya Gilles Saisi komposer dari Perancis, Mehdi Al Lagui gitaris yang
juga dari Perancis, Michiel Dijkman pemain Banjo dari Belanda, Euginy Rodionov
pemain musik digital dari Rusia, Jesse Larson seniman kontemporer dari Amerika,
Monik Wei seniman dari Chechnya dan beberapa pengisi acara lainnya.
Para seniman pengisi acara ini semuanya hadir secara
sukarela dan tampil tanpa dibayar. Sebagai bentuk pengabdian seniman kepada
masyarakat yang diharapkan membawa dampak yang positif.
Seniman dan musisi tersebut tampil berkolaborasi dengan
seniman lokal dan masyarakat sekitar Songgon.
Kegiatan yang dilaksanakan secara swadaya ini memilih tempat
pagelaran di area hutan pinus, sungai Badeng dan persawahan. Lokasi yang dingin
dengan suasana alam kaki Gunung Raung, membuat penampilan seni budaya lokal
masyarakat Songgon bisa nyaman disaksikan.
Pertunjukan seni budaya ditampilkan melalui dua panggung di
lahan seluas 3 hektar. Panggung utara dengan latar belakang tebing batu menampilkan
band reggae lokal KWK yang sempat membawakan lagu Don’t Worry dan Umbul-Umbul
Belambangan versi reggae. Sedangkan panggung selatan, dengan latar belakang
hutan pinus menampilkan musik karya seniman luar daerah dan seniman luar
negeri.
Prosesi ruwatan massal diawali dengan pertunjukan wayang kulit oleh Ki Dalang Sentot Lebdo Carito dengan lakon ‘Murwukolo’ atau ruwatan. (sumber : Jatimtimes.com) |
Kegiatan itu diawali dengan ruwatan massal oleh Dalang Sentot dari Desa Sragi, Kecamatan Songgon, diskusi budaya, workshop, bazaar-pameran, serta panggung seni yang akan menampilkan pagelaran wayang kulit, kesenian tradisional dari Songgon dan sekitarnya, kesenian kontemporer dari Japung Nusantara, serta kesenian kontemporer dari mancanegara. Ada juga pengelolaan dan daur ulang sampah botol plastik serta pameran produk hasil UMKM setempat.
Sukses penyelenggaraan Makarya oleh masyarakat desa Songgon diharapkan menjadi awal yang baik dalam mengembangkan potensi seni budaya dan wisata menuju desa wisata Songgon yang mandiri, menyusul desa-desa lain yang sudah lebih dulu memulai, seperti Kawitan, Desa Tamansari, Desa Banjar, dan Desa Gombengsari.
0 komentar:
Posting Komentar