Afi Nihaya Faradisa,
nama akun Facebook pelajar kelas XII SMAN 1 Gambiran Banyuwangi ini, sedang
menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Ini tak lain terkait dengan
status-status yang ditulis di akun pribadinya.
Afi Nihaya Faradisa di perpustakaan sekolahnya. (sumber : Beritajatim.com) |
Berkat tulisan yang diposting pada 8 Desember pukul 17:47
itu, namanya menjadi viral lantaran tulisan tersebut –saat tulisan ini dibuat –
tak kurang dilike sebanyak 21 ribu kali, dibagikan sebanyak 17.336 kali, dan
melahirkan komentar sebanyak 2958 kali.
Beberapa tulisan sebelumnya juga mengundang decak kagum,
meski tak urung ada juga yang bersikap sebaliknya.
Jika umumnya remaja sebayanya, dan pemilik akun pada
umumnya, menulis hal-hal yang ringan dan tak jarang cenderung alay, gadis yang bernama asli Asa Firda
Inayah ini malah banyak bicara tentang perenungannya yang dalam tentang
pengalaman hidup dan hal-hal yang terjadi di sekelilingnya.
Banyak yang kagum dengan pemikirannya, namun tak sedikit juga
yang sempat meragukan keaslian tulisan tersebut merupakan buah pikirannya
sendiri. Maklum saja, apa yang ditulisnya terbilang memiliki level yang berada
di atas usianya.
Namun, putri dari pasangan Imam Wahyudi dan Sumartini
tersebut mengaku tulisan-tulisan yang dibuatnya seratus persen orisinal hasil
dari pemikirannya.
Simak saja kedalaman tulisan Afi berikut ini tentang
fenomena gadget dan media sosial yang belakangan telah menjadi medan permusuhan
– bukannya ajang silaturahmi - dengan mengatasnamakan perbedaan :
Aku pernah mematikan total hapeku selama 10 hari.
Selama itu, aku tidak berhubungan dengan dunia luar sama
sekali.
Hanya dari situ kau bisa mengamati apa yang gadget dan
koneksi internet telah renggut selama ini.
Katakanlah aku terjebak dalam sudut pandang yang
menggelikan.
Katakanlah aku salah menyikapi kemajuan, tapi hal-hal ini
yang telah kupelajari dalam 10 hari. Sudahkah kau mencoba sendiri sebelum
menjustifikasi?
Melalui layar 4 inchi ini, aku memang melihat dunia tanpa batas yurisdiksi.
Melalui layar 4 inchi ini, aku memang melihat dunia tanpa batas yurisdiksi.
Namun, kata orang bijak, "You are what you
eat".
Belakangan aku tahu bahwa hal itu tidak hanya berlaku
untuk makanan perut, tapi juga "makanan pikiran".
Apa yang telah kita masukkan dalam pikiran, jiwa, dan
hati kita selama ini menentukan seperti apa diri kita.
Lalu pernahkah bertanya, yang aku telan selama ini lebih
banyak racun atau gizinya? Pantas kalau diri kita masih gini-gini saja.
Ternyata ini sebabnya.
Perhatikan, kondisi "sumber makanan pikiran" kita semakin tercemari.
Perhatikan, kondisi "sumber makanan pikiran" kita semakin tercemari.
Aku lelah menjelaskan pada satu persatu orang tentang
negatifnya menyebarkan hoax dan kebohongan.
Kita juga tidak pernah kehabisan alasan untuk saling
membenci. Apa-apa dijadikan 'amunisi'.
Sama-sama manusia, kalau beda negara rusuh. Sama-sama
Indonesia, kalau beda agama rusuh.
Sama agamanya, beda pandangan juga rusuh. Terus gimana
nih maunya?
Padahal, kalau bukan Tuhan, lalu siapa lagi yang
menciptakan SEMUA perbedaan ini?
Kalau Dia mau, Dia bisa saja menjadikan semua manusia
'serupa' dalam segala hal.
Lalu, kenapa kita lancang menentang Tuhan dengan meludahi
perbedaan?
Aku sendiri tidak pernah mengunfriend yang beda
pandangan, aku dan kamu bisa bersahabat walaupun kita tidak sepakat.
Pernah lihat orang yang penuh permusuhan hidupnya tenang?
Bagaimana kita berharap ada bunga yang tumbuh di atas
kawah berapi?
Yang dirahmati Tuhan adalah hubungan, bukan permusuhan.
Unity in diversity.
Yang aku heran, apa-apa dijadikan perdebatan.
Yang aku heran, apa-apa dijadikan perdebatan.
Seperti ritual medsos tahunan, mulai dari ucapan natal,
perayaan valentine, bahkan juga jumlah peserta unjuk rasa!
Diri ini merasa lebih baik karena pihak lain terlihat
lebih buruk.
Kita merasa senang atas ketidakbaikan orang.
Tuhan mana yang mendukung karakter seperti itu?
Padahal, this too shall pass.
Semua hal pasti akan berlalu sendiri silih berganti.
10 tahun lagi, apakah yang kita pertengkarkan ini lebih
berharga daripada hubungan baik kita?
Padahal, kata "musuh" hanyalah ilusi, sebuah sekat yang kita buat sendiri.
Padahal, kata "musuh" hanyalah ilusi, sebuah sekat yang kita buat sendiri.
Tuhan tidak mengatakan bahwa Ia hanya dekat dengan
pembuluh nadi orang beragama X dan bersuku Y, Tuhan dekat dengan pembuluh nadi
semua orang.
Sudah lupa, ya?
Yang aneh adalah, jika tidak pro pokoknya salah! Kontra salah, netral pun juga disalahkan.
Yang aneh adalah, jika tidak pro pokoknya salah! Kontra salah, netral pun juga disalahkan.
Tidak ada hal lain yang ditunjukkan kecuali sifat
kekanak-kanakan.
Boikot terhadap produk perusahaan raksasa tidak akan
berpengaruh sedikitpun pada owner-owner atas yang sudah kaya raya, yang kalian
bahayakan adalah penjual-penjual kecil yang masih bingung cari makan tiap
harinya, yang mereka bahkan tidak tahu apa-apa tentang kebijakan perusahaan.
Ada sebuah peribahasa Cina yang layak untuk kita renungkan. "Menyimpan dendam seperti meminum racun tapi berharap orang lain yang mati."
Ada sebuah peribahasa Cina yang layak untuk kita renungkan. "Menyimpan dendam seperti meminum racun tapi berharap orang lain yang mati."
Buddha pun berkata, "Anda tidak dihukum KARENA
kemarahan Anda, Anda dihukum OLEH kemarahan Anda."
Jika tetap tidak bisa mengendalikan kemarahan? DIAM!
Jika tetap tidak bisa mengendalikan kemarahan? DIAM!
Setidaknya kemarahan kita tidak akan menjadi sebab
kemarahan orang lain.
“Barangsiapa yang diam, dia selamat.” (HR. Tirmidzi no.
2501)
Dan aku tahu,
Dan aku tahu,
Memang ada saatnya memproteksi diri. Ada saatnya
mempertahankan kenyamanan pribadi.
Tapi bagiku, ada juga saatnya untuk mencapai tujuan yang
lebih tinggi. Karena itu, aku tidak akan pergi dari sini :)
- Afi N.F
Kalimat-kalimat ringan namun penuh makna ini, membuat Afi
banjir pujian netizen dan tergerak membagikannya. Beberapa portal berita pun
ikut menyebarkan dan menulis profilnya.
Hal ini membuat Afi makin termotivasi untuk menebarkan
informasi positif. Afi tak ingin, remaja Indonesia hanya menjadikan media
sosial sebagai ajang kesenangan belaka atau hanya sebagai alat provokasi dan
penyebar kebencian.
Kemampuan olah
kata yang dimilikinya saat ini ternyata tak lepas dari ketekunannya membaca
banyak buku sejak masih kecil.
Menurut
penuturannya, kebiasaanya membaca segala jenis buku bacaan membuatnya punya
banyak referensi dan ide terkait tulisan yang akan dibuatnya. Kebiasaan membaca
dan menulis ini sudah dilakukannya sejak duduk di bangku sekolah dasar.
"Banyak buku yang sudah saya baca, mulai dari awal dulu tentang fiksi hingga yang paling saya suka itu tentang buku pengembangan diri, Psikologi maupun buku agama," katanya.
Ada hal yang menarik dari akun pribadinya di Facebook adalah
begitu terbukanya ia terhadap hadirnya orang lain dalam dinding akunnya. Siapa
pun bisa melihat profil dan postingannya, bahkan yang tidak berteman dengannya
juga diijinkan memberi komentar. Tentang hal ini ia menjelaskan :
“Mengapa saya membuka wall saya sehingga siapapun bisa
berkomentar (termasuk yang belum berteman)? Itu karena saya mencintai
demokrasi, kebebasan untuk berpendapat tanpa harus dibungkam dan dikebiri.”
Akun pribadi Facebok Afi |
Afi
yang bercita-cita menulis buku ini juga memiliki sebuah blog pribadi yang
berisi tulisan beragam topik. Arsip blog yang berdomain www.afinihayafaradisa.com ini menunjukkan ada 29 artikel hingga September 2016,
terbagi dalam beberapa kategori seperti pendidikan, psikologi, percintaan,
kehidupan dan cerita hati. Ini menunjukkan Afi cukup produktif menulis.
Dalam tulisan yang berjudul “Sisi Gelap”, Afi mengupas
tentang dualitas yang terdapat pada manusia. Menurutnya, tidak peduli siapa orangnya, setiap manusia adalah
gabungan antara sisi gelap dan sisi terang, kelebihan dan kekurangan, dosa dan
amal kebaikan. Kecuali manusia yang tercerahkan, kita semua tidak bisa lepas
dengan sifat dualitas.
Begini Afi menjelaskan pemikirannya tentang pentingnya
memahami adanya dualitas pada manusia :
Guru agamaku di SMP
tidak mengajarkan banyak hafalan seperti guru agama pada umumnya, beliau
berpesan satu hal dan berulang kali menekankan hal ini: JANGAN MUDAH
MENGHAKIMI!
Setelah 3 tahun aku baru memahami maksud beliau mengapa kita tidak seharusnya begitu mudah menyerobot kewenangan Tuhan dengan menghakimi begitu banyak hal di dunia ini.
Sebab,
Orang yang kelihatan baik, itu karena Tuhan menutup aibnya dan hanya memperlihatkan yang baik-baik dari dia.
Orang yang kelihatan jelek, itu karena Tuhan menutup kebaikannya dan hanya membuka yang jelek-jelek dari dia.
Ya, cuma sesederhana itu ternyata.
Dengan menyadari sedikit saja,
Itu akan membuat kita tidak pantas merasa sombong jika dinilai baik dan tidak perlu kecewa jika dinilai jelek.
Dengan lebih dulu mengakui adanya dualitas dalam diri, itu akan membuat kita lebih adil dalam menilai orang lain apa adanya.
Ketika aku menulis dengan lembut, aku menyadari bahwa aku juga berpotensi untuk menulis dengan keras dan kasar.
Ketika aku sedang murah hati, aku menyadari bahwa aku bisa saja pelit di lain hari.
Ketika aku melihat orang lain pengecut, aku akan menengok diriku sendiri dan mengakui di sana juga rasa takut.
Ketika aku melihat orang lain pendosa, maka aku akan menengok diriku sendiri dan mengakui juga masih banyak khilaf di sana.
Ketika aku melihat orang lain bodoh, aku akan menengok diriku sendiri dan mengakui juga ada banyak kebodohan di dalam.
Begitulah seorang Afi dengan gaya penulisan yang lugas, reflektif dan
nalar berpikir yang baik. Tak heran jika banyak netizen yang kepincut dengan tulisan-tulisannya, memberi like dan membagikan pemikirannya yang selalu positif sekaligus menginspirasi.
Good job Afi!
Setelah menyimak, ternyata memang postingan tersebut berbobot dan punya daya gugah yg besar. Semoga remaja makin cerdas memilah apa yg baik dan tidak untuk dia "makan" dalam hidupnya.
BalasHapus