Tradisi Ithuk-Ithukan
di Banyuwangi - Banyak tradisi yang masih hidup dan dilestarikan di
masyarakat Banyuwangi. Salah satunya yang dilakukan masyarakat Dusun Rejopuro,
Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Mereka mempunya tradisi
Ithuk-ithukan untuk upacara selamatan dusun. Tradisi ini sebagai simbol rasa
syukur atas sumber mata air sekaligus momen berbagi kepada sesama.
Agenda ini dilakukan tiap tanggal 12 Dzulkaidah yang tahun
2016 ini jatuh pada Selasa, 16 Agustus. Ritual Ithuk-ithukan yang rutin digelar
setahun sekali ini diikuti dengan antusias oleh warga setempat.
Ithuk-ithukan (sumber : Detik.com) |
Ithuk merupakan satu porsi nasi lengkap dengan lauk-pauk berisi tahu, manisan
(labu siam), sayur pakis dan terong dengan daun pisang sebagai alasnya. Ada
pula sajian tumpeng pethetheng yaitu tumpeng dengan ayam utuh yang dibakar.
Ithuk-ithukan diarak menuju sumber mata air. (sumber : Tribunnews.com) |
Ritual diawali dengan mendoakan ithuk dan tumpeng
pethetheng. Kemudian para wanita dusun berbaris rapi membawa ithuk-ithukan
berjalan ke arah timur menuju balai desa kemudian berputar arah menuju arah
barat ke sumber mata air.
Nantinya ithuk-ithukan yang dibawa ini akan dinikmati di bersama-sama di sumber mata air. Acara dilanjutkan dengan hiburan musik Kuntulan dan pada malam harinya akan ditutup dengan pembacaan lontar.
Nantinya ithuk-ithukan yang dibawa ini akan dinikmati di bersama-sama di sumber mata air. Acara dilanjutkan dengan hiburan musik Kuntulan dan pada malam harinya akan ditutup dengan pembacaan lontar.
Pawai tradisi Ithuk-ithukan (sumber : Detik.com) |
Menurut Ketua Panitia Ritual Adat dan Tradisi Ithuk-Ithukan,
Sarino, tahun ini warga menyediakan 1.000 ithuk-ithukan. Sarino menyebut
tradisi sejak zaman leluhur ini bertujuan untuk menjalin silaturahmi sesama
warga dusun.
Menurutnya, diadakan setiap 12 Dzulkaidah mesti kepethuk (ketemu), artinya sesama warga ketemu. Jumlah ithuk sebagai pertanda hari ini jangan ada masyarakat yang lapar.
Menurutnya, diadakan setiap 12 Dzulkaidah mesti kepethuk (ketemu), artinya sesama warga ketemu. Jumlah ithuk sebagai pertanda hari ini jangan ada masyarakat yang lapar.
Sarino menerangkan nama dusunnya berasal dari Rejo yang berarti ramai dan Puro
dari sepuro yang berarti memaafkan. Hal ini bermakna semakin banyak yang datang
ke dusunnya menambah keramaian namun dalam suasana yang damai saling memaafkan.
"Kalau kata buyut jadi dusun jadi ramai, sudah ada saudara (ditambah) ada orang datang makin ramai. Namun dalam suasana penuh memaafkan," bebernya.
"Kalau kata buyut jadi dusun jadi ramai, sudah ada saudara (ditambah) ada orang datang makin ramai. Namun dalam suasana penuh memaafkan," bebernya.
Sementara menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas,
tradisi Ithuk-ithukan ini merupakan cara masyarakatnya mensyukuri air sebagai
sumber kehidupan. Dia mengapresiasi nilai-nilai kedaerahan yang melekat dan
terus dilestarikan oleh warga Rejopuro.
"Ithuk-ithukan sebelum dimakan harus diarak dulu ke sumber air. Bagaimana orang dulu menghormati sumber air, air itu diselamati karena sumber kehidupan. Sumber mata air itu diselamati, warga bertemu kemudian saling mengenal satu sama lain," kata Anas.
"Ithuk-ithukan sebelum dimakan harus diarak dulu ke sumber air. Bagaimana orang dulu menghormati sumber air, air itu diselamati karena sumber kehidupan. Sumber mata air itu diselamati, warga bertemu kemudian saling mengenal satu sama lain," kata Anas.
Dalam tradisi tersebut setiap warga Rejopuro ikut menikmati
ithuk-ithukan yang sudah diarak dan didoakan. Bahkan bagi warga yang sakit dan
tidak bisa ikut serta ithuk-ithukan diantar ke rumahnya. Anas pun menekankan
nilai-nilai kebersamaan ini layak dicontoh.
"Hal-hal inilah maka orang kota perlu belajar ke orang desa. Sehingga tercapai harmoni antara alam, masyarakat dan lingkungan bisa terwujud," katanya.
Bupati dua periode ini menambahkan leluhur telah mengajarkan kita untuk hidup sehat dan senantiasa bersyukur. Agar mengena, Anas kemudian bercanda soal tiga pola hidup yang harus dijalani oleh masyarakat.
"Ayam pethetheng ini kan dibakar lemaknya keluar sehingga sehat, ini makanan sehat. Banyak orang tidak sehat karena pola makan. Kedua pola hidup yang sederhana tidak punya pikiran dan ketiga kakean polah (banyak tingkah) macem-macem," kata Anas.
"Mbah buyut mengajarkan cara hidupnya benar. Saya senang masyarakat di dusun Rejopuro. Rejoning disepuro bagaimana hidup ramai tapi dalam penuh keampunan. Orang hidup kalau penuh pengampunan dari Allah itu bahagia," pungkasnya. (Detik.com)
"Hal-hal inilah maka orang kota perlu belajar ke orang desa. Sehingga tercapai harmoni antara alam, masyarakat dan lingkungan bisa terwujud," katanya.
Bupati dua periode ini menambahkan leluhur telah mengajarkan kita untuk hidup sehat dan senantiasa bersyukur. Agar mengena, Anas kemudian bercanda soal tiga pola hidup yang harus dijalani oleh masyarakat.
"Ayam pethetheng ini kan dibakar lemaknya keluar sehingga sehat, ini makanan sehat. Banyak orang tidak sehat karena pola makan. Kedua pola hidup yang sederhana tidak punya pikiran dan ketiga kakean polah (banyak tingkah) macem-macem," kata Anas.
"Mbah buyut mengajarkan cara hidupnya benar. Saya senang masyarakat di dusun Rejopuro. Rejoning disepuro bagaimana hidup ramai tapi dalam penuh keampunan. Orang hidup kalau penuh pengampunan dari Allah itu bahagia," pungkasnya. (Detik.com)
0 komentar:
Posting Komentar