Masjid Mirip Klenteng Di Banyuwangi - Bukan hanya Surabaya dan Mojokerto yang memiliki masjid
dengan arsitektur mirip kelenteng. Di Banyuwangi ternyata juga ada masjid
serupa, tapi yang ini dalam ukuran yang lebih kecil, karena ini memang sebuah
mushala.
Mushola Al-Mukasyafah di Kec. Srono-Banyuwangi mirip sebuah kelenteng (sumber : Kompas.com)
Jika kebetulan sedang melintas di Desa Bagorejo, Kecamatan
Srono, Kabupaten Banyuwangi, Anda akan melihat bangunan menyerupai kelenteng
dengan dominasi warna hijau dan merah. Anda mungkin tidak menyangka jika
bangunan tersebut adalah Mushala Al-Mukasyafah yang didirikan oleh pemuda desa
setempat pada tahun 2010 lalu.
Tidak heran, karena mushala tersebut memang terinspirasi
dari kelenteng Laksamana Cheng Ho. Berikut ini sejumlah keistimewaan yang terdapat
di mushala yang memiliki bentuk bangunan yang berbeda dari masjid pada umumnya.
Mirip Kelenteng
Keunikan yang terlihat secara kasat mata, bentuk dan corak
mushala tersebut memang berbeda dengan tempat ibadah umat Islam pada umumnya.
Sekilas orang akan mengira bangunan tersebut adalah sebuah
kelenteng atau wihara. Namun jika dilihat dari dekat, baru jelas semua ornamen
dinding maupun kubahnya tidak menggunakan huruf cina, tapi dihiasi kaligrafi
Arab terutama di bagian depan dan dalam mushala. Selain itu diatas
kubahnya terdapat lafad Allah.
Tanpa ornamen Arab itu, kemungkinan besar orang menyangka
bangunan itu sebagai sebuah kelenteng atau wihara.
Tidak Terkait Etnis Tertentu
Mungkin ada yang mengira keberadaan mushala berbentuk
kelenteng tersebut dibangun oleh etnis Tionghoa Muslim atau berdiri di
lingkungan yang banyak dihuni keturunan Tionghoa. Ternyata bukan!
Mushala tersebut sepenuhnya milik warga setempat yang
pembangunannya dibiayai secara swadaya oleh masyarakat setempat. Dan di wilayah
tersebut tidak ada warga keturunan Tionghoa yang beragama Islam.
Lebih Populer Dengan Sebutan Masjid Merah Atau Masjid Buah Naga
Karena keunikannya tersebut, masyarakat setempat lebih
mengenal keberadaan mushala Al-Mukasyafah dengan sebutan Masjid Merah atau Masjid Buah
Naga.
Sebutan Masjid Merah ini karena bangunan mushala terlihat
didominasi warna merah, meskipun sebenarnya juga terdapat warna hijau dan
kuning yang mencolok dibeberapa bagiannya.
Sedangkan sebutan Masjid Buah Naga itu muncul karena
masyarakat mengaitkan bentuk kubah masjid itu dengan buah naga yang
kulitnya juga berwarna merah dan dipenuhi sisik yang menjumbai, mirip bentuk
kubah masjid yang berundak.
Maka tak heran bagi warga lokal mushala tersebut lebih
populer sebagai Masjid Merah atau Masjid Buah Naga daripada nama
sebenarnya Mushala Al-Mukasyafah.
Dibangun di Tepi Kanal
Keunikkan lainnya, mushala ini dibangun tepat di bantaran
saluran irigasi (kanal) Desa Bagorejo, Kecamatan Srono. Untuk menghubungkan
jalan raya dan mushala dibangunlah jembatan lengkung bergaya Tiongkok. Jembatan
melengkung diatas kanal ini bisa membuat imajinasi para jamaah terbawa ke
suasana masjid di Tiongkok.
Di sisi kanan dan kiri mushala terdapat bangunan
semi-permanen yang sering digunakan tempat nongkrong atau sekadar ngobrol dan
ngopi-ngopi warga setempat.
"Tempat ibadah bukan hanya untuk beribadah, melainkan
juga bagaimana caranya agar nyaman untuk kumpul, untuk silaturahim juga. Banyak
orang yang kebetulan lewat dan singgah ke mushala ini. Kami terbuka lebar,
siapa pun itu yang datang," ujar Joko Triyono, pengelola mushala tersebut.
Mushala Al-Mukasyafah dilihat dari depan (sumber : Radioglobalmediaswarafm.blogspot.co.id) |
Terinspirasi Masjid Laksamana Cheng Ho
Mengapa mushala Al-Mukasyafah bentuknya berbeda dengan
masjid pada umumnya? Awalnya ini hanya sebuah mushala kecil berukuran 4x4
meter. Suatu saat timbul ide dari para pemuda untuk merenovasi mushala tersebut
menjadi tempat beribadah yang nyaman dan indah, sekaligus tempat berkumpul para
pemuda di lingkungan tersebut.
Konon si pemilik lahan menginginkan bangunan ibadahnya
terlihat unik dan berbeda dengan mushala lainnya. Dari hasil browsing di
internet, panitia pembangunan mushala akhirnya sepakat mengadopsi gaya
arsitektur masjid bergaya klenteng ala Laksama Cheng Ho.
Salah satu alasannya bangunan mushala seperti itu memiliki
nuansa yang berbeda dan terlihat unik.
Dengan modal awal sekitar Rp 4 jutaan, panitia bergerak
mencari dana dari para donatur hingga terkumpul anggaran sebesar Rp 175 juta. Hanya
membutuhkan waktu pembangunan kurang dari 6 bulan, maka berdirilah mushala berarsitektur unik ini
pada tahun 2010 lalu.
Mushala Al-Mukasyafah dengan bentuk yang unik dan warna yang mencolok mata ini
membuatnya menjadi lokasi favorit pengambilan foto pre-wedding. Lebih dari itu,
keberadaannya mencerminkan akulturasi budaya Tiongkok dan Islam yang yang hidup
berdampingan dalam harmoni.
0 komentar:
Posting Komentar