Selain warga setempat, napak tilas juga diikuti peserta yang datang dari berbagai wilayah Banyuwangi, yang berasal dari berbagai elemen,
mulai dari dinas/instansi, pelajar, mahasiswa dan umum.
Peserta napak tilas terdiri perorangan maupun beregu
menyusuri sepanjang jalur perang Puputan Bayu. Setiap tahun jarak tempuhnya
bisa berubah, sesuai dengan pertimbangan tertentu.
Untuk tahun 2015 peserta menempuh jarak 9 kilometer yang
terdiri dari 2 kilometer jalan aspal dan 7 kilometer jalan setapak ditengah
hutan, dimulai dari kantor Kecamatan Songgon dan berakhir di kawasan wana wisata Rowo Bayu, di Desa Bayu, Songon.
Selain itu ada yang berbeda dalam acara napak tilas perang
Puputan Bayu. Bersamaan dengan acara tersebut, warga Desa Bayu, Kecamatan
Songgon menggelar kirab pusaka perang dan kirab tumpeng hasil bumi. Kirab ini
menempuh 3 kilometer, juga di finish di petilasan Prabu Tawangalun, yang berada
di wana wisata Rowo Bayu.
Terdapat ratusan pusaka yang dikirab, terdiri dari keris,
tombak. Kesemua pusaka tersebut merupakan warisan leluhur yang digunakan saat
perang Bayu.
Perang Puputan Bayu terjadi pada Agustus 1771 sampai
Desember 1772, tercatat sebagai puncak perlawanan prajurit Blambangan terhadap
Belanda. Dalam Bahasa Osing, puput
mempunyai arti habis, puputan berarti habis-habisan, maka Perang
Puputan Bayu berarti perang habis-habisan di daerah Bayu, yang sekarang
masuk wilayah administratif Kecamatan Songgon, Banyuwangi.
Tindakan Belanda yang sewenang-wenang dan kejam menyebabkan
kebencian rakyat dimana-mana. Pejuang Blambangan Jagapati menghimpun rakyat
Blambangan di benteng Bayu. Ribuan penduduk rela meninggalkan desa mereka untuk
bergabung dengan Jagapati.
Puncaknya pada tanggal 18 Desember 1771, para pejuang
Blambangan melakukan serangan umum secara Puputan atau habis-habisan terhadap
Belanda. Pertempuran berkobar di Songgon dan Susukan mengakibatkan kekalahan
pasukan VOC dan terbunuhnya letnan Reigers. Namun pertempuran paling brutal
belum lagi pecah. Pada serangan terhadap pasukan VOC kedua di bulan yang sama,
penyergapan mendadak yang dilakukan para pejuang Bayu bersamaan dengan deras
hujan menyebabkan pasukan VOC yang dikomandani Vaandrig Schaar menderita
kekalahan parah.
Para prajurit Blambangan maju ke medan perang secara
serentak dengan berteriak-teriak
histeris untuk membangun semangat juang mereka dan meruntuhkan semangat musuh,
dengan membawa senjata apa adanya seperti keris, golok, pedang, tombak, dan
senjata api yang mereka peroleh dari hasil rampasan dari tentara VOC atau yang
di dapat dari orang-orang inggris yang telah membuka kantor dagangnya di
Tirtaganda.
Pangeran Repeg Jagapati memimpin peperangan ini, namun ia gugur akibat
luka-luka dalam perang Puputan Bayu ini.
Dalam peperangan ini
pasukan VOC benar-benar di hancur luluhkan. Sebagian dari mereka digiring ke
parit-parit jebakan yang telah sengaja dibuat oleh pejuang- pejuang Blambangan
untuk kemudian menghujaminnya dengan senjata dari atas.
Vaandrig Schaar yang merupakan komandan pasukan VOC, Letnan
Kornet Tinned dan tak terhitung banyaknya tentara Belanda lainnya yang terbunuh
dalam peperangan tersebut. Kepala Schaar
dipotong, kemudian ditancapkan pada ujung tombak dan diarak keliling desa-desa.
Setelah itu Belanda melakukan cooling down sambil menunggu bantuan tenaga dan amunisi sebelum
melakukan serangan balasan besar-besaran.
Pada tanggal 11 Oktober 1772 Belanda melakukan serangan
mengejutkan. Bayu digempur habis-habisan dengan tembakan-tembakan meriam oleh
Belanda. Heinrich dengan 1.500 pasukannya menerobos dan meyerang benteng Bayu
dari sayap kiri.
Melalui pertempuran sengit akhirnya Bayu dapat direbut VOC. Para
pejuang Bayu yang tertangkap diperintahkan oleh Heinrich untuk dibunuh.
Kemudian kepalanya dipotong dan digantung di pohon- pohon atau
ditancap-tancapkan di tonggak pagar di sepanjang jalan desa.
Itulah akhir dari sebuah peperangan habis-habisan yang
sangat mengerikan yang telah merenggut ribuan bahkan puluhan ribu korban. Baik
dari pihak musuh dan terutama dari pihak rakyat Blambangan. Sebanyak 60 ribu
rakyat Blambangan gugur, padahal jumlah penduduk Blambangan ketika itu tak
lebih dari 65 ribu orang.
Dalam dokumen yang ditulis J.K.J. de Jonge pada 1883, yang
mengutip surat Gubernur Jenderal Reiner de Klerk kepada pemimpin VOC tertanggal
31 Desember 1781, Puputan Bayu yang berlangsung sekitar 1 tahun 4 bulan itu
membuat pemerintah kolonial Belanda harus mengeluarkan dana yang luar biasa
besar. Setidaknya dana yang dikeluarkan setara dengan 8 ton emas.
Setelah Puputan Bayu, wilayah Blambangan (Banyuwangi)
menjadi lengang. Disamping amuk kematian yang disebabkan oleh bedil VOC,
juga kelaparan, wabah penyakit, dan migrasi besar-besaran orang Blambangan ke
luar daerah merupakan faktor berkurangnya jumlah penduduk Blambangan.
Akhir tahun 1772 penduduk Blambangan tinggal 3.000 jiwa atau
8,3% dari jumlah penduduk yang ada sebelum pendudukan Belanda.
Akhirnya, berdasarkan kisah pertempuran Puputan Bayu tersebut, DPRD Banyuwangi
pada sidangnya tanggal 9 Mei 1995 lewat cara aklamasi menetapkan 18 Desember
sebagai hari jadi Banyuwangi. Jadilah napak tilas Puputan Bayu diselenggarakan sebagai rangkaian kegiatan hari jadi Kabupaten Banyuwangi.
Sumber :
- http://lepasparagraf1.blogspot.co.id/2011/03/petaka-blambangan-puputan-bayu-minak.html
- http://harianjambi.com/berita-laskar-tangguh-dari-ujung-timur-jawa.html
- http://www.academia.edu/7512680/Perang_Puputan_Bayu_Di_Blambangan_Pada_1771
- http://banyuwangikab.go.id/berita-daerah/ribuan-orang-napak-tilas-susuri-jalur-perang-puputan-bayu.html
- https://news.detik.com/berita-jawa-timur/3094611/masyarakat-banyuwangi-gelar-napak-tilas-dan-kirab-pusaka
Napak tilas Puputan Bayu 2015.
0 komentar:
Posting Komentar