Festival Ngopi Sepuluh Ewu - Ngopi di warung kopi atau coffee shop sudah jamak. Tapi bagaimana kalau minum kopi di teras rumah, yang dilakukan bareng-bareng bersama ribuan orang sekaligus? Nuansanya pasti berbeda. Inilah yang terjadi dalam acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Dalam acara ini sedikitnya 10 ribu cangkir kopi disediakan dan bisa disruput secara gratis.
Menikmati kopi sambil bercengkrama, bersenda gurau sembari diiringi alunan
musik tradisional. Suasana malam makin romantis dengan dipasangnya obor dan lampu teplok sebagai penerangan.
#Festival Ngopi Sepuluh Ewu
Di desa adat Kemiren, masyarakat suku Using yang merupakan penduduk
asli Banyuwangi, punya tradisi minum kopi yang unik dan khas. Tradisi minum
kopi ini konon adalah warisan leluhur nenek moyang Kemiren yang masih
dilestarikan oleh warganya hingga sekarang. Mereka memegang teguh ujaran nenek
moyang yang dalam Bahasa Using berbunyi “Welurine Mbah Buyut Kemire ngombe kopi
cangkir tutup”, yang berarti meminum kopi dengan cangkir yang ada tutupnya.
Di desa Kemiren ini, setiap keluarga memiliki paling tidak
satu set cangkir keramik yang motif dan bentuknya sama. Ketika ada warga yang
menikah biasanya akan diberi hadiah cangkir dengan motif yang sama. Tak heran
banyak cangkir yang dimiliki warga Kemiren telah berusia puluhan tahun, karena
merupakan warisan dari leluhur sebelumnya. Inilah ciri khas tersendiri yang
dimiliki desa Kemiren, selain kasur warganya yang berwarna merah dan
hitam semua. Bagi warga Kemiren, cangkir keramik adalah alat terbaik untuk
menghidangkan kopi panas yang enak.
Lautan manusia siap ngopi bersama di Desa Kemiren (sumber : Twitter.com/Bwi24jam (kiri), Kompas.com (kanan). |
Mungkin ini alasan mengapa di desa Kemiren Anda tidak akan
menemukan warung kopi, karena bagi masyarakat setempat minum kopi adalah
kebiasaan yang dilakukan didalam rumah mereka sendiri. Mereka terbiasa menerima
tamu dengan menyuguhkan secangkir kopi dalam cangkir mungil lengkap dengan
tatakan dan tutup cangkirnya. Bahkan warga Using Kemiren memiliki filosofi atau
tatanan tersendiri saat menyajikan kopi kepada tamunya, yaitu gupuh, lungguh, suguh.
Gupuh dapat diartikan jika menerima tamu, tuan
rumah akan segera mempersilahkan masuk. Lungguh dalam bahasa
Indonesia diartikan duduk, yaitu tuan rumah akan mempersilahkan si tamu untuk
duduk sesaat setelah dipersilahkan masuk. Yang terakhir suguh,
diartikan sebagai memberikan hidangan kepada tamu, dimana salah satunya adalah
menghidangkan kopi. Kopi memang punya peran penting dalam laku sosial
masyarakat Kemiren. Mereka punya kelakar: kalau orang ngumpul ya harus ngopi,
kalau ngeteh itu untuk orang sakit.
Keramahan
seperti ini merupakan tradisi warga Using dalam menghormati tamu yang datang sekaligus
untuk menumbuhkan persaudaraan. Bagi warga Kemiren, secangkir kopi dapat
mendekatkan jarak, membuat suasana lebih hangat, layaknya bertemu dengan teman
lama. Simbolisasi kopi sebagai perekat persaudaraan ini terwakili dalam
ungkapan setempat : “Sak corot dadi saduluran.” Yang bermakna dari secangkir
kopi yang dinikmati bersama ini akan menumbuhkan rasa persaudaraan. Maka
kemudian munculah jargon populer : Sekali seduh, kita bersaudara.
Dari kebiasaan warga Kemiren dalam menikmati kopi untuk mempererat jalinan
silahturahmi antarwarga inilah kemudian muncul gagasan untuk memperkenalkan Kemiren
sebagai desa kopi kepada masyarakat
luas. Apalagi Kopai Osing (istilah
bahasa Using menyebut kopi) dikenal memiliki cita rasa yang unik dan mereka
punya cara tradisional dalam mengolah biji kopi menjadi minuman yang nikmat.
Bupati Anas ikut ngopi di rumah salah satu rumah warga Kemiren (sumber : Kabarbisnis.com) |
Ide ini pun pertama kali diwujudkan pada tahun 2013 lalu
dalam bentuk festival minum kopi. Yang menarik ide tentang minum kopi gratis
ini benar-benar membumi, sebab berasal dari warga setempat dan dananya pun
hasil swadaya masyarakat sendiri tanpa bantuan APBD Banyuwangi. Pada saat itu
hanya seribu cangkir kopi yang disajikan kepada pengunjung secara gratis.
Melihat antusias pengunjung yang begitu besar, maka pada selanjutnya
jumlah kopi yang disiapkan pun meningkatkan drastis menjadi sepuluh ribu
cangkir. Jadilah Festival Ngopi Sepuluh Ewu menjadi contoh nyata mempertahankan
tradisi gotong royong karena semua acara digarap bersama-sama oleh warga.
Festival Ngopi Sepuluh Ewu bukan acara minum kopi secara
massal di satu tempat, melainkan pertunjukan budaya bahwa ngopi yang merupakan
tradisi asli warga Kemiren yang menggambarkan keramahan dan kemurahhatian warga
Using.
Festival
Ngopi Sepuluh Ewu berlangsung sederhana namun meriah. Untuk menyambut
pengunjung, warga Kemiren akan menyulap seluruh latar rumahnya menjadi ruang
tamu. Setiap depan rumah disiapkan meja lengkap dengan kursi dan perlengkapan
untuk minum, seperti cangkir dan alasnya yang terbuat dari keramik, toples kaca
dengan bentuk khas berisi bubuk kopi dan gula serta termos berisi air panas.
Yang menarik, ribuan cangkir yang digunakan motifnya
seragam, berornamen bunga. Cara penyajiannya pun seragam, karena diyakini bisa menghasilkan rasa
kopi terbaik.
Pengunjung bebas duduk di halaman rumah siapa saja. Mereka
yang datang akan dipersilahkan duduk di kursi, sang empunya rumah akan mengajak
ngobrol ringan si tamu. Ditemani secangkir kopi, suasana pun menjadi guyub dan
hangat.
Sebagai pelengkap ngopi, di meja tersaji jajanan tradisional
khas setempat seperti singkong goreng, tape ketan yang dibungkus daun kemiri,
tetel ketan, kue cucur, bolu, dan rengginang. Khas cemilan wong ndeso.
Semuanya bisa dinikmati secara gratis. Pulang dijamin kenyang!
Hangatnya secangkir kopi Osing (sumber : Kaskus.co.id) |
Begitulah warga
Using menyambut tamunya, semua yang datang di Kemiren dianggap sebagai saudara
yang harus dihormati dan dihargai.
Itulah secangkir
keajaiban kopai osing, sekali sruput,
merekapun bersaudara.
Festival Ngopi Sepuluh Ewu
Tempat : Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi
Pelaksanaan : Bagian dari Banyuwangi Festival
Waktu : Malam hari (sekitar pukul 19.00 WIB - selesai)
#Festival Ngopi Sepuluh Ewu
0 komentar:
Posting Komentar