Ikan Sidat Banyuwangi - Ikan sidat (Anguilla sp) menjadi salah satu andalan ekspor perikanan
Kabupaten Banyuwangi. Pada tahun 2014 produksi sidat Banyuwangi mencapai 147
ton pertahun. Dan kualitas sidat (Anguilla sp) di Banyuwangi adalah
terbaik di dunia. Pengakuan ini datang dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Hal ini tak lepas dari kualitas air tawar di Banyuwangi yang
sangat baik. Sebagai perbandingan, kualitas air di Jakarta dalam setiap 25
miligram kandungan bakterinya mencapai 550.000 PPM (bagian per juta), di Banyuwangi
hanya 10.000 PPM. Maka tak heran sidat yang dibudidayakan di Banyuwangi
kualitasnya diakui terbaik di dunia, bukan hanya di Indonesia.
Oya, sekedar tahu, ikan sidat ini sekilas mirip belut. Namun
sidat berbeda dengan belut, karena memiliki sirip di dada, punggung dan dubur
yang sempurna, sehingga sirip tersebut dianggap “daun bertelinga”, maka ada
yang menamakan ikan sidat sebagai “belut bertelinga”. Ada juga yang menyebutnya
sebagai ikan ular karena bentuknya memanjang mirip ular.
Nah, atas prestasi Banyuwangi sebagai penghasil sidat dengan kualitas terbaik di Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadikan Banyuwangi sebagai proyek percontohan taman tecnologi
(technopark) pelatihan budi daya sidat. Technopark sidat ini dikembangkan di
Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Banyuwangi. Dalam taman
tersebut, Kementerian Kelautan membesarkan 15 ribu bibit ikan sidat.
Technopark ini merupakan program pembangunan
kawasan pengembangan teknologi dan inovasi dari Kementerian KP yang
memiliki fungsi sebagai tempat pendidikan dan pelatihan para nelayan perikanan
tangkap maupun perikanan budi daya yang berpotensi mendorong pengembangan
bisnis baru.
KENAPA SIDAT?
Ikan sidat dipilih karena nilai ekonominya besar. Harga
per kilogram ikan sidat mencapai ratusan ribu rupiah. Menurut sebuah sumber, harga sidat di tingkat peternak bisa mencapai Rp 600 ribu, sedangkan harga ekspor ke Jepang sekitar US$ 150/kg (sekitar 2jutaan). Padahal permintaan pasar luar
negeri seperti Jepang, Korea bahkan Arab sangat tinggi, hingga mencapai 300
ribu ton per tahun, namun tidak pernah bisa dipenuhi karena keterbatasan
pasokan.
Sidat menjadi primadona di sejumlah negara karena kandungan
protein dan gizinya yang tinggi dan tidak dimiliki jenis ikan yang lain,
menjadikan sidat makanan yang paling digemari di sejumlah negara, terutama
Jepang.
Di Jepang, sidat dikenal dengan nama Unagi, digunakan
sebagai bahan makanan di restoran-restoran dengan harga yang cukup mahal. Unagi
menjadi menu favorit orang Jepang karena dagingnya yang tebal dan lembut kaya
protein, kalsium, dan vitamin. Sidat alias Unagi juga mengandung asam lemak DHA
dan EPA yang membantu menurunkan kolesterol, tekanan darah, dan menstimulasi
saraf otak.
Tidak hanya mengandung berprotein tinggi, unagi konon bagus
untuk pembangkit stamina.
Di Jepang, unagi biasa diolah menjadi beraneka menu makanan
dengan cara seperti dipanggang, digoreng, ditim bahkan dimasak cara teppanyaki. Di Banyuwangi, sidat biasanya dimasak dengan cara dipepes yang disebut Pelasan Oling. Oling adalah istilah lokal Banyuwangi untuk sidat.
Aneka menu dari Sidat alias unagi. (sumber : Unagioda.blogspot.co.id) |
Melalui pembangunan technopark ini, Banyuwangi akan menjadi
tempat belajar teknologi budidaya sidat. Masyarakat yang tertarik bisa belajar
bersama atau jika punya teknologi yang lebih baru tentang sidat bisa dibagi dan
ditularkan di tempat ini.
BPPP Banyuwangi akan menjadi tempat pembesaran sidat atau
inkubasi yang memiliki fasilitas lengkap, mulai kolam hingga teknologi
pembesaran yang dibimbing oleh ahli budi daya keluatan dan perikanan.
Kolam pembesaran sidat di BPPP Banyuwangi (sumber : Banyuwangikab.go.id) |
Dalam taman teknologi tersebut, Balai Pendidikan dan
Pelatihan Perikanan membuat 24 kolam pembesaran sidat berukuran 2 x 4 meter.
Kepala BPPT
Banyuwangi, I Wayan Suarya, mengatakan bibit-bibit sidat dibeli dari warga
untuk dibesarkan di kolam taman teknologi.
Sejauh ini masih
belum ada teknologi yang bisa menghasilkan bibit Sidat karena ikan yang
berbentuk seperti ular tersebut mempunyai siklus hidup yang unik. Yaitu besar
di air tawar dan memijah (bertelur) di laut. Budidaya sidat dilakukan
berdasarkan bibit hasil tangkapan alam.
Pembesaran sidat dilakukan sampai sidat mencapai nilai ekonomi pada usia 14
bulan. Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Banyuwangi membesarkan sidat
dengan teknologi raceway.
Bibit sidat dari tangkapan alam (sumber : Budidaya-ikan.com) |
Menurut
instruktur budidaya sidat, Dian Tugu, raceway merupakan metode
air berputar yang diterapkan pada kolam-kolam pembesaran sidat.
Air yang berputar selama 24 jam tersebut disaring dengan campuran arang dan ijuk untuk menjaga kualitasnya. Arang berfungsi mengikat bakteri.
Teknologi raceway bisa dibuat sendiri oleh petani. Balai telah mencoba teknologi itu selama 2014 dengan menebar seribu bibit sidat. Hasilnya, tingkat keberhasilan hingga 90 persen sidat hidup hingga usia 14 bulan.
Secara umum, pembesaran sidat cukup mudah dengan tingkat kematian kecil. Sebab sidat memiliki kelebihan tahan penyakit dan tahan dalam kondisi air buruk.
Air yang berputar selama 24 jam tersebut disaring dengan campuran arang dan ijuk untuk menjaga kualitasnya. Arang berfungsi mengikat bakteri.
Teknologi raceway bisa dibuat sendiri oleh petani. Balai telah mencoba teknologi itu selama 2014 dengan menebar seribu bibit sidat. Hasilnya, tingkat keberhasilan hingga 90 persen sidat hidup hingga usia 14 bulan.
Secara umum, pembesaran sidat cukup mudah dengan tingkat kematian kecil. Sebab sidat memiliki kelebihan tahan penyakit dan tahan dalam kondisi air buruk.
Daya tahan
itu didukung karena siklus sidat yang hidup dalam dua perairan sekaligus, yakni
di air tawar dan laut. Saat dewasa, sidat hidup di air tawar.
Namun saat berpijah, sidat akan berenang ke laut yang memiliki tekanan tinggi dan kedalaman hingga satu kilometer. “Sidat berpijah menjelang musim hujan, karena dia butuh banyak nitrogen untuk mematangkan sel telurnya,” jelas Dian.
Masa berpijah yang harus dilakukan di lautan itulah, menyebabkan sidat belum bisa dibudidayakan. Setelah memijah induk sidat mati. Anakannya kemudian bergerak ke pinggir menuju sungai untuk berkembang biak. Anakan ini yang ditangkap untuk dibesarkan di kolam pembesaran.
Namun saat berpijah, sidat akan berenang ke laut yang memiliki tekanan tinggi dan kedalaman hingga satu kilometer. “Sidat berpijah menjelang musim hujan, karena dia butuh banyak nitrogen untuk mematangkan sel telurnya,” jelas Dian.
Masa berpijah yang harus dilakukan di lautan itulah, menyebabkan sidat belum bisa dibudidayakan. Setelah memijah induk sidat mati. Anakannya kemudian bergerak ke pinggir menuju sungai untuk berkembang biak. Anakan ini yang ditangkap untuk dibesarkan di kolam pembesaran.
Dengan
kesulitan budidaya sidat seperti itu, menjadi logis harga sidat pun paling
mahal di antara jenis ikan lainnya. Tentu sangat disayangkan jika masyarakat masih tidak menyadari adanya peluang ini karena faktor ketidaktahuan.
Dengan adanya technopark ini masyarakat bisa belajar teknologi
budidaya sidat dan menangkap peluang besar yang terbuka lebar.
Anda berminat ?
Bisa ditiru, mahar secangkir kopi, ..
BalasHapusPatut dikembangkan didaerah lain yg punya kualitas air yang cukup bagus seperti sumatera barat
BalasHapusBerapa harga bibit sidat... Apakah bisa dikirim ke lombok?
BalasHapussaya berminat untuk mengikuti pelatihannya, apakah ada persyaratan khusus untuk mengikuti pelatihannya ?
BalasHapusAnda bisa menghubungi langsung pihak BPPP Banyuwangi Jl. Raya Situbondo Desa No.Km. 17, Parasputih, Bangsring, Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 68453
HapusTelepon : (0333) 510688