Berbagai tradisi menyambut lebaran yang dikenal sebagai Lebaran Ketupat banyak terdapat di tanah air, khususnya di salah satunya di Banyuwangi.
Ada tradisi unik masyarakat Banyuwangi dalam merayakan
lebaran ketupat. Seperti yang dilakukan masyarakat suku Osing di Dukuh Kopen
Kidul, Dusun Kampung Baru, Kecamatan
Glagah. Setiap Lebaran hari ketujuh, dalam
merayakan hari raya ketupat, ratusan warga berebut Ketupat Gunggung atau
gunungan ketupat berisi uang. Yang mendapat banyak, diyakini akan mendapat
segala kemudahan urusan selama setahun ke depan.
Masyarakat setempat menyebut
tradisi ini dengan nama Gelar Pitu,
karena dilaksanakan setiap tanggal 7 di bulan Syawal tahun Hijriyah, sebagai wujud
syukur kepada sang Pencipta yang telah mengaruniai hasil bumi yang melimpah
sekaligus sebagai tradisi tolak bala.
Ketupat yang diperebutkan disebut Kupat Gunggung karena cangkang
ketupat yang berjumlah ratusan ini dibentuk menggunung. Meskipun ketupat ini
bukan ketupat masak, tapi diincar dan diperebutkan warga karena di dalamnya
berisi uang. Ketupat berisi uang tersebut berasal dari warga setempat. Setiap
kepala keluarga diwajibkan mengumpulkan tujuh ketupat, yang berisi sejumlah uang
pecahan 500 hingga Rp. 2000,-. Ketupat yang terkumpul lalu disusun menyerupai
gunungan, yang nantinya akan diperebutkan warga, dipercaya bisa
meramal nasib dan rejeki warga dalam setahun kedepan.
Ketupat gungung diarak keliling desa sebelum diperebutkan (foto : www.kabarbanyuwangi.info) |
Ketupat Gunggung merupakan bagian dari ritual Gelar Pitu
yang digelar sebagai penutup rangkaian perayaan Lebaran atau biasa disebut
dengan Syawalan. Dalam tradisi ini,
masyarakat setempat menggelar ritual penyucian Barong dan mahkota (omprok) Seblang serta ketupat gunggung
yang diarak dan didoakan di makam leluhur mereka, Mbah Saridin.
Bagi masyarakat Dukuh Kopen Kidul, ritual Gelar Pitu
dilaksanakan dengan tujuan melestarikan tradisi leluhur mereka. Kata
gelar mempunyai arti menata atau menggelar, sedangkan kata
pitu berarti pitutur alias perkataan atau wejangan. Jadi, ritual
Gelar Pitu bermakna menata ucapan Buyut Saridin yang telah
memberikan tujuh wejangan kepada keturunannya.
Salah satu wejangan itu adalah agar
keturunan Buyut Saridin melaksanakan sedekah bumi yang dilaksanakan
di halaman rumah atau di tengah jalan. Menurut Sanusi, ketua
adat Dukuh Kopen Kidul, prosesi ritual mendak
tirta, kirab kupat gunung sampai berdoa ke makam Buyut Saridin,
dan sedekah bumi di tengah jalan, memiliki makna yang cukup dalam. Yakni
jika kita punya kelebihan rezeki, bisa dibagikan kepada orang yang
lewat di jalan. Itulah nilai sosialnya. Apabila ada kekurangan, mintalah
kepada orang yang lewat. Itulah nilai kejujuran, ujarnya.
JALANNYA TRADISI
GELAR PITU
Sejak pagi hari pada pelaksanaan Gelar Pitu, dilakukan
upacara mendak tirta atau mengambil
air suci di sumber air yang berlokasi di tepi sungai. Nantinya air
tersebut digunakan untuk menyucikan barong, omprog (mahkota) seblang,
dan ketupat gunggung sebelum diarak keliling dukuh.
Ritual Gelar Pitu diawali dengan pembacaan doa yang dipimpin
sesepuh desa setempat. Setelah itu ketupat Gunggung diarak keliling desa. Di
depan rombongan iring-iringan itu ada barong dan pitik-pitikan. Menyusul di
belakangnya rombongan hadrah dan kuntulan diikuti berbagai alat musik tradisional
seperti gamelan, angklung paglak hingga gembrung. Paling belakang adalah
orang-orang yang memikul ketupat gunggung. Sampai di di ujung desa, warga
melakukan ziarah ke makam leluhur desa.
Ketupat gunggung diarak keliling desa dengan diiringi barong dan kesenian tradisional (foto : www.rri.co.id) |
Usai didoakan di makam yang berjarak sekitar dua
kilometer dari permukiman warga itu, kupat gunung itu dibawa kembali
ke depan musala setempat. Kemudian warga sekitar mengeluarkan ancak yang terbuat dari pelepah pisang
yang berisi kupat lodo, yaitu ketupat
dengan lauk ayam yang dimasak bumbu hijau, yang dibawa dari rumah
masing-masing. Kupat lodo itu diletakkan berjajar di tengah jalan
sepanjang jalan utama Dukuh Kopen Kidul. Lantas, seorang tokoh adat
memimpin doa.
Selamatan massal di tengah jalan desa dalam tradisi Gelar Pitu (foto : www.rri.co.id) |
Usai berdoa, warga sekitar dan seluruh pengunjung
menyantap hidangan kupat lodo tersebut. Setelah itu, warga bergeser
menuju satu titik, tepatnya di tengah jalan depan musala, tepatnya di
lokasi ketupat gunung diletakkan. Beberapa saat berselang, ketua
adat setempat akan memberi aba-aba agar warga siap memperebutkan
kupat gunung tersebut, yang seketika disambut warga dengan “serbuan”
ke arah kupat gunung tersebut.
Warga berebut ketupat gunggung yang diyakini membawa rejeki (foto : www.rri.co.id) |
Seluruh warga ikut memperebutkan ketupat berisi uang
tersebut. Meski berdesak-desakan hingga terjatuh, warga tetap akur satu sama
lain. Karena jika sampai berselisih, warga meyakini uang yang mereka dapat
tidak akan berkah. Selain itu tak hanya mengharapkan rezeki, warga yang turut
berebut Kupat Gunggung juga ada yang berharap mendapat jodoh.
Seperti ini serunya suasana rebutan ketupat gungung (foto : www.liputan6.com) |
Rebutan kupat gunggung ini adalah proses akhir dari ritual
gelar pitu yang diyakini bisa meramalkan rejeki setiap warga, meski harus
berdesak – desakan, puluhan warga nekat agar bisa mendapatkan ketupat sebanyak
– banyaknya, yang mereka yakini sebagai ramalan perolehan rezeki mereka dalam
setahun kedepan, semakin besar uang yang mereka dapat dari dalam ketupat maka
semakin besar dan lancar rezeki yang akan mereka terima.
Sebaliknya, mereka yang mendapat ketupat berisi uang
dengan nominal kecil, diprediksi selama setahun rezekinya akan
seret. Namun, menurut Sanusi, isi ketupat yang didapat warga itu
bukanlah ramalan. Menurutnya, isi ketupat tersebut menunjukkan hal yang
sebenarnya terjadi. “Sebenarnya bukan meramal, tapi menunjukkan yang
sebenarnya. Ada yang dapat Rp 5 ribu, ada juga yang dapat Rp 1.000.
Rp 5 ribu kan lebih banyak dari Rp 1.000. Jelas yang dapat Rp 5 ribu
itu rezekinya lebih melimpah daripada yang hanya dapat Rp 1.000,”
jelasnya.
Ritual sakral Gelar Pitu yang sudah dilakukan secara turun
temurun sejak ratusan tahun ini akan tetap dilestarikan, karena warga
percaya jika ritual tidak dilaksakan, akan ada ada paceklik atau dalam istilah
bahasa using "pagebluk" yang akan menimpa warga desa setempat.
0 komentar:
Posting Komentar