Tradisi Puter Kayun - setiap tahun, pada 10 Syawal atau 10 hari sesudah perayaan Lebaran
Idhul Fitri, warga Desa Boyolangu, Kecamatan Giri, Banyuwangi mengajak seluruh
anggota keluarganya berpawai menggunakan dokar yang dihias warna-warni menuju
ke Pantai Watu Dodol. Warga setempat menyebutnya sebagai tradisi Puter Kayun.
Mereka menggunakan dokar sebagai alat transportasi karena menurut
riwayatnya, dahulu mayoritas warga Boyolangu berprofesi sebagai kusir dokar. Sehingga
dokar menjadi kendaraan yang selalu digunakan ketika bepergian, termasuk dalam
tradisi Puter Kayun ini. Kalau dulu ada lebih 100 dokar di Banyuwangi, namun
sejalan dengan perkembangan jaman, pada era sekarang jumlah dokar semakin
sedikit - diperkirakan tinggal 17 dokar saja -maka ada sebagian warga yang
menggunakan sepeda motor atau mobil.
Tradisi yang digelar secara turun temurun setiap lebaran tersebut
sebagai ungkapan syukur atas rezeki yang telah diberikan Tuhan, mempererat tali silaturahmi keluarga,
sekaligus melakukan napak tilas dari para leluhur warga setempat yang membuat
jalan dari Boyolangu menuju Pantai Watu Dodol yang berjarak 15 kilometer.
Warga desa melepas keberangkatkan peserta napak tilas Puter Kayun. (foto : www.isunbanyuwangi.com) |
Karena itu tradisi Puter kayun ini juga bisa diartikan sebagai
lebarannya kusir dokar. Apalagi selama 7 hari di saat libur lebaran para kusir
dokar ini tetap bekerja, sehingga tidak punya waktu berkumpul bersama keluarga.
Setelah itu pada saat dilaksanakan puter kayun yang jatuh pada hari 10 Idhul
Fitri, barulah mereka menikmatinya dengan mengajak seluruh keluarga untuk
berwisata bersama.
Sehari sebelum pelaksaan Puter Kayun, warga Desa Boyolangu mengelar
tradisi bersih-bersih desa dengan mengarak kebo-keboan dan mengelar aneka
kesenian, seperti kunthulan, barong, gandrung dan hadrah.
Ketika iring-iringan warga dalam tradisi Puter Kayun sampai di
Pantai Watu Dodol Banyuwangi, tokoh adat setempat melarung bunga berbagai macam
rupa untuk menghormati para leluhur yang meninggal pada saat membuat jalan
sepanjang 15 km dan dilanjutkan dengan memotong tumpeng dan makan bersama
ditepi pantai sambil saling bertukar bekal makanan yang mereka bawa dari rumah
masing-masing.
Sepanjang hari warga bersuka ria menghabiskan waktu di pantai,
naik perahu, bersantai atau mandi di laut untuk buang sial. Tak pelak tradisi
Puter Kayun pun menjadi ajang berlibur sekaligus bersilahturahmi bagi warga
yang tidak sempat bertemu selama lebaran.
Rute napak tilas warga Boyolangu menuju Pantai Watu Dodol.
ASAL USUL TRADISI PUTER KAYUN
Sejak kapan Tradisi Puter Kayun ini dimulai, tidak diketahui
secara pasti, namun sudah berlangsung sejak ratusan tahun. Menurut penuturan Rugito, Ketua
Adat Paguyuban Boyolangu, yang diketahui tradisi ini setelah era pembuatan
jalan Anyer-Panarukan yang kemudian dilanjutkan Panarukan-Banyuwangi.
Sebagai informasi, De Grote Postweg atau Jalan Raya Pos dari
Anyer ke Panarukan dibangun pada era Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal
Hindia Belanda yang ke-36. Daendels memerintah antara tahun 1808-1811.
Pada saat itu, jalur pantura yang keluar atau menuju
Banyuwangi belum ada. Seorang tetua desa bernama Jakso bersemedi dan
mendapatkan wahyu atau petunjuk untuk membuat jalan menembus gunung batu yang
berada di sisi selat Bali.
Petunjuknya adalah ndodol
(membongkar) watu yang ada di dekat laut sebagai akses jalan. Karena itulah
akhirnya di kawasan itu disebut Watudodol atau batu dibongkar.
Setelah upaya menembus batu besar berhasil dengan sukses, maka untuk merayakannya, pada setiap tanggal 10 syawal dilaksanakan upacara puter
kayun sebagai wujud syukur dan kegembiraan usai berpuasa sebulan penuh. Bentuknya berupa selamatan desa dan bertamasya ke Watudodol sebagai bentuk luapan kegembiraan.
Akhirnya tradisi turun-temurun ini pun dikenal sebagai Puter
Kayun. Puter artinya yang berputar-putar atau keliling, sedangkan Kayun artinya
bersenang-senang dengan menggunakan dokar atau andong. Hal ini karena dahulu mayoritas
warga setempat berprofesi sebagai kusir dokar, maka sarana transportasi yang
digunakan pun dokar.
Sehari sebelumnya, untuk menyambut puter kayun, warga
Desa Boyolanggu mengelar tradisi bersih-bersih desa dengan mengarak kebo-keboan
dan mengelar aneka kesenian, seperti kunthulan, barong, gandrung dan hadrah.
Namun ada versi lain yang sedikit berbeda tentang asal-usul
tradisi Puter Kayun ini. Menurut versi ini, pada saat pembangunan jalan Panarukan – Banyuwangi pada zaman Kolonial Belanda, karena beratnya pekerjaan dan kekejaman penjajah Belanda, banyak korban jiwa selama mengerjakan pembangunan jalan tersebut.
Pembangunan jalan tersebut ternyata tidak hanya melibatkan
pekerja manusia, makhluk halus pun ikut andil. Hal ini terjadi karena adanya
gunung Batu yang memisahkan jalan antara Surabaya – Banyuwangi ini menutupi jalan
dan menghambat proyek tersebut.
Batu yang ada di gunung Batu tersebut sangatlah keras dan
tidak ada seorangpun yang dapat memecahkannya. Para pekerja pun putus asa dan
menyerah.
Pada akhirnya Schopoff ( Residen VOC di Banyuwangi )
berinisiatif menyuruh Mas Alit, Bupati Banyuwangi saat itu yang merupakan
keturunan Tawangalun, untuk mengadakan sayembara dengan imbalan berupa
tanah dari Sukowidi sampai gunung Batu yang kira-kira 8 km.
Ternyata tidak ada seorang pun yang berhasil, sehingga Mas
Alit mengutus Ki Buyut Jaksa untuk membantunya. Ki Buyut Jaksa yang tinggal di gunung Silangu dikenal orang yang sakti mandraguna. Awalnya Ki Buyut Jaksa menolak, namun akhirnya setuju. Ia memanggil Raja Makhuk halus dan mengadakan
perjanjian.
Satu diantaranya adalah keturunan Ki Buyut Jaksa harus selalu
menengoknya di batu besar yang merupakan tempatnya bernaung. Batu itu merupakan
bagian dari gunung Batu yang tepat berada di tengah jalan raya yang
menghubungkan antara Banyuwangi – Surabaya.
Singkatnya, berkat bantuan makhluk halus, pengerjaan jalan
dapat berlanjut.
Sejak itulah keturunan Ki Buyut Jaksa pun mulai melakukan
tradisi itu.
Meskipun ada perbedaan versi, namun ada benang merahnya, yaitu bahwa intinya tradisi puter kayun ini sebagai
bentuk penghargaan kepada para leluhur yang telah selesai menyelesaikan jalan
ini dengan cara melakukan napak tilas pembukaan jalan dari kampung Boyolangu ke Watu Dodol yang dulu dilakukan Buyut Jakso.
Begitulah kisah tentang Tradisi Puter Kayun di Banyuwangi.
Begitulah kisah tentang Tradisi Puter Kayun di Banyuwangi.
0 komentar:
Posting Komentar