Pawai Endog-endogan |
Endog dalam bahasa Indonesia berarti telur. Telur tersebut
direbus dan diletakkan pada tusukan bambu kecil yang dihias dengan kembang
kertas yang disebut dengan kembang endog.
Nantinya kembang endog akan ditancapkan pada jodang, yaitu pohon pisang yang dihias dengan kertas warna-warni
untuk menancapkan hiasan endog-endogan yang telah diikat pada batang-batang
bambu. Kembang endog adalah visual pohon kehidupan yang berupa sebuah telur
dimasukkan ke semacam sangkar yang terbuat dari bambu, dihias dengan aneka cara,
dan diatasnya ditutup dengan hiasan bunga mawar.
Biasanya dalam satu jodang berisi 27, 33 ataupun 99 kembang endog. Kemudian jodang-jodang yang sudah ditancap kembang endog akan diarak keliling kampung, bisa dipanggul ataupun menggunakan becak serta diiringi dengan alat musik tradisional seperti alat musik patrol, terbang, ataupun rebana.
Setelah diarak keliling kampung, jodang akan diletakkan di serambi masjid atau mushola dan akan dibagikan kepada masyarakat selepas pengajian dan makan bersama.
Tradisi endog-endogan sendiri tidak hanya dilakukan pada
satu wilayah, tapi tersebar di 24 kecamatan di wilayah Kabupaten Banyuwangi,
terutama di wilayah-wilayah yang ditempati Suku Using, suku asli Banyuwangi.
Mulai dari mushola kecil di desa, masjid, sekolah, bahkan organisasi Islam,
semuanya menggelar tradisi endog-endogan.
Menurut Suhailik, sejarawan lokal Banyuwangi, munculnya tradisi endog-endogan sejak akhir abad 18. Endog-endogan ini masuk setelah Islam masuk ke wilayah Kerajaan Blambangan.
Menurut Suhailik, sejarawan lokal Banyuwangi, munculnya tradisi endog-endogan sejak akhir abad 18. Endog-endogan ini masuk setelah Islam masuk ke wilayah Kerajaan Blambangan.
Kisah awal tradisi Endog-endogan di Banyuwangi konon diawali dengan adanya pertemuan di Bangkalan antara Mbah Kyai Kholil, pimpinan Ponpes Kademangan Bangkalan dengan KH Abdullah Fakih pendiri Ponpes Cemoro Balak, Songgon, Banyuwangi.
Dalam pertemuan tersebut, Kyai Kholil mengatakan bahwa kembange Islam wes lahir di nusantara (Nadlatul Ulama) yang dipersonifikasikan sebagai endhog (telur). Yaitu kulit telur melambangkan kelembagaan NU sendiri, sementara isi telur melambangkan amaliyah.
Sepulang dari pertemuan tersebut, Kyai Fakih pun menyebarkan amanah tersebut dengan cara mengarak keliling kampung gedebog (batang) pisang yang telah dihias dengan tancapan telur-telur dan bunga, dengan disertai lantunan sholawat dan dzikir. Ini kemudian menjadi cikal bakal tradisi endog-endogan yang ada di Banyuwang.
Selain itu ada makna filosofi yang tinggi dari Tradisi
Endog-endogan ini. Endog atau telur memiliki tiga lapisan, yang terdiri dari
kuningan, putihan dan cangkang. Berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad, ketiga
lapis telur tersebut merupakan bahasa simbolik. Pertama, kuning telur terdapat
di bagian paling dalam dari sebuah telur. Dari kuning telur ini merupakan
embrio dari sebuah proses kehidupan. Dalam bagian ini terdapat protein yang
tinggi maka dapat di ibaratkan sebagai IHSAN dalam kehidupan, sebagai bagian
yang paling penting.
Kedua, Putihan yang berfungsi sebagai pembungkus dan
pelindung kuningan. Putihan disini ibarat ISLAM, setelah ihsan maka
membentuklah sebuah kenyakinan yaitu berupa islam. Ketiga, Cangkang adalah
kulit terluar dari telur yang melindungi putihan dan kuningan telur tersebut.
Cangkang ibarat IMAN dalam kehidupan.
Ditancapkannya telur di pohon pisang maknanya adalah pohon
pisang di ibaratkan manusia. Dalam diri manusia terdapat perangkat qolbu
yang didalamnya dapat tancapkan apa saja, kebaikan ataupun keburukan.
Maka iman, islam dan ihsan adalah harmonisasi risalah yang di bawa Nabi
Muhammad SAW, yang jika di tancapkan pada diri manusia akan menghasilkan
manusia yang tercermin dari pribadi Nabi Muhammad SAW.
Yang juga unik, tradisi Endog-endogan tidak serentak dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiul Awal, tapi dilaksanakan selama satu bulan. Waktunya bergantian, hari ini bisa di kampung A, besok di kampung B. Yang jelas selama satu bulan penuh di Banyuwangi akan banyak pawai endog-endogan.
Namun dengan perkembangan zaman, kembang endog sudah berubah tidak hanya berbentuk bunga tetapi berubah sesuai kreativitas masyarakat, seperti berbentuk barong, ular naga, pesawat ataupun model kerucut.
Menurut Salimah, salah satu pembuat kembang endog, bentuk yang banyak dicari oleh masyarakat adalah bentuk seperti burung dan juga kerucut. "Jadi telurnya tidak lagi ditusuk bambu tapi digantung agar tidak cepat basi. Bentuknya juga lebih menarik terutama bagi anak-anak," katanya.
FESTIVAL ENDOG-ENDOGAN
Sejak 2014 tradisi Endog-endogan ini dikemas menjadi salah
satu bentuk wisata budaya yang unik di Banyuwangi dan menjadi bagian dari rangkaian
kegiatan Banyuwangi Festival yang
digelar setiap tahun.
Pada tahun 2014 Festival Endog-endogan bertema Arak-arakan
Endog-endogan, yang diawali dengan zikir maulid dan pujian-pujian lalu
dilanjutkan dengan musik Hadrah Kuntulan dengan judul lagu "Bulan
Mulud". Selain itu juga ada penampilan teatrikal yang menceritakan
masuknya Islam di Nusantara. Termasuk pula kisah awal Sunan Kalijaga menjadi
salah satu Wali Songo hingga perjalanan dakwahnya melalui seni diiringi dengan
gending-gending yang pernah dibawakan Sunan Kalijaga seperti Dandanggula,
Semarangan, dan Lir-ilir.
Festival Endog-endogan 2014 |
Pada 2015 Festival endog-endogan mengusung tema “Menebar
Sholawat Menuai Cinta Nabi Muhammad SAW, Banyuwangi Penuh Rahmat”, berlangsung
pada 17 Januari 2015. Kali ini Endog-endogan dilaksanakan serempak di 24
Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, yang diikuti oleh masyarakat, pelajar dan
para SKPD.
Yang berbeda dalam festival Endog-endogan 2015 dengan tahun
sebelumnya adalah lebih menekankan pada pembacaan sholawatnya dengan tidak mengurangi
tradisi ngarak kembang endog. Selain itu untuk tahun 2015 kembang endognya
selain ditancapkan pada jodang juga harus ditancapkan pada ancaknya, dan telurnya harus ditusuk, bukan dibungkus dengan
plastik dan wadah sejenisnya.
0 komentar:
Posting Komentar