Lokasi candi yang berada tepat di Petilasan Maha
Rsi Markandeya ini mudah dijangkau, untuk mencapainya bisa menggunakan kendaraan
roda empat. Jaraknya sekitar 80 kilometer dari kota Banyuwangi ke arah barat.
Lokasi candi yang berada di pinggir hutan milik
Kesatuan Pemangku hutan (KPH) Perhutani Banyuwangi Barat itu sebenarnya dibuka
untuk umum. Selain lokasinya bagus, tempat itu oleh umat hindu disucikan karena
dipercaya sebagai petilasan Maha Rsi Markandeya, seorang tokoh penyebar agama
Hindu pertama di jawa. Di lokasi itu ada beberapa tempat yang dikeramatkan.
Selain candi Agung gumuk kancil juga ada Pura Puncak Raung dan Beji.
Candi Agung Gumuk Kancil
Dikisahkan, Rsi Markandeya mengajak sekitar 800 pengikut menyeberang ke Bali. Sampai di pegunungan Toh Langkir, Besakih, Karangasem, sebagian besar pengikutnya meninggal akibat terserang penyakit. Setelah bermeditasi, Rsi Markandeya bersama sebagian pengikutnya kembali lagi ke lereng Raung. Keanehan muncul, pengikutnya mendadak sembuh setelah mandi di lereng Raung. Karena itu tempat tersebut kemudian disebut dengan nama Sugihwaras (sugih = kaya, waras = sehat). Mayoritas penduduk Sugihwaras sekarang pemeluk Hindu.
Selain
Candi Agung Gumuk Kancil, banyak tempat lagi di sekitar Dusun Sugihwaras yang
bisa dijadikan objek perjalanan spiritual. Seluruh lokasi ini diyakini bekas
perkampungan kaum Jawa Aga pada masa Rsi Markandeya. Selain Candi Agung Gumuk
Kancil sedikitnya ada tiga lokasi, yakni Partirtan
Sumber Urip, Watu Gantung dan
situs Candi Gumuk Payung. Empat
lokasi ini letaknya terpisah, namun bisa ditempuh dalam sekali perjalanan.
Diantara ketiganya, yang dirasakan paling mistis adalah Patirtan Sumber Urip. Letaknya sekitar satu kilometer arah utara Gumuk Kancil. Mata air alami ini ditemukan tahun 1990-an. Sebelumnya mata air ini tertimbun hutan lindung. Sumber Urip merupakan mata air alami yang keluar dari batu.
Sejak tahun 2007, umat Hindu setempat membangun kawasan ini secara swadaya. Tepat di atas mata air utama didirikan sebuah arca Dewi Gangga yang membawa kendi. Dari sumber utama air dialirkan menggunakan 8 kepala naga. Aliran air tersebut kemudian diarahkan ke persawahan warga.
Tempat ini biasanya digunakan sebagai mendak tirta, mengambil air suci, untuk persembahyangan. Hampir tiap hari ada pengunjung datang ke mari. Rata-rata mereka peziarah spiritual. Beberapa di antaranya mengambil airnya untuk dibawa pulang. Kini, umat Hindu setempat mulai memperluas kawasan itu sebagai lokasi pemujaan. Perhutani juga mengizinkannya sebagai kawasan penyangga hutan lindung. Luasnya sekitar 100 m2. Sejak kawasan ini ditetapkan sebagai cagar budaya, masyarakat dilarang menebang pohon dan mengotori lokasi tersebut.
Dari lokasi mata air Sumber Urip, sekitar 1 km ke arah utara terdapat Watu Gantung. Untuk mencapainya harus
berjalan kaki. Watu Gantung adalah batu yang menggantung. Tempat ini juga
diyakini masih berkaitan dengan perjalanan Rsi Markandeya.
Lokasi lainnya Pura Puncak Raung dan Pura Giri Mulyo. Dua tempat suci ini berlokasi di bawah Candi Agung Gumuk Kancil. Sedangkan letak situs Candi Gumuk Payung agak jauh dari lokasi candi di Gumuk Kancil. Untuk mencapainya pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat hingga ke pintu gerbang situs.
Pengunjung Candi Agung Gumuk Kancil tidak hanya
sebatas umat Hindu yang ingin bersembahyang, namun ada juga kalangan penganut
kejawen yang datang untuk meminta nasihat spiritual kepada pemangku kompleks
candi sambil berdiskusi dan bermeditasi. Ada juga yang melakukan kaulan. Jika
kaulnya dikabulkan, biasanya mereka datang lagi untuk menggelar ritual.
Candi Agung Gumuk Kancil berstatus cagar budaya. Tempat ini masuk salah satu tujuan wisata spiritual yang ditetapkan Pemkab Banyuwangi. Namun, biaya perawatan candi, masih mengandalkan sumbangan dari pengunjung.
Candi Agung Gumuk Kancil berstatus cagar budaya. Tempat ini masuk salah satu tujuan wisata spiritual yang ditetapkan Pemkab Banyuwangi. Namun, biaya perawatan candi, masih mengandalkan sumbangan dari pengunjung.
Sejak dulu Gumuk Kancil dikenal mistis. Sebelum
ada pura, pengikut kejawen sering bersembahyang di tempat ini. Para pemburu
binatang pun sebelum berburu berdoa di sini. Candi Agung Gumuk Kancil juga
menjadi tempat pengikut kejawen untuk meditasi. Mereka juga banyak datang dari
luar Kabupaten Banyuwangi. Sehari-harinya, candi ini dipelihara 11 KK umat
Hindu yang bertempat tinggal di sekitar candi.
ASAL
USUL CANDI AGUNG GUMUK KANCIL
Keberadaan Candi Agung Gumuk Kancil tidak lepas
dari sosok Maha Rsi Markandeya, tokoh spiritual abad ke-7 masehi. Sebelum
hijrah ke Bali, Rsi Markandeya hidup dan memiliki pasraman di lereng Gunung
Raung, Banyuwangi.
Zaman dulu di sepanjang lereng Raung dipercaya
menjadi wilayah pasraman yang ditempati masyarakat Jawa Aga (sebutan untuk masyarakat yang tinggal di lereng selatang gunung Raung). Pasramannya
dikenal dengan sebutan Diwang Ukir Damalung membentang dari Banyuwangi hingga
Besuki, Situbondo. Komunitas Hindu di lereng Raung tersebar di dua dusun,
Sugihwaras dan Wono Asih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore. Dua dusun terpencil
ini berlokasi di lereng selatan Raung.
Dikisahkan, Rsi Markandeya mengajak sekitar 800 pengikut menyeberang ke Bali. Sampai di pegunungan Toh Langkir, Besakih, Karangasem, sebagian besar pengikutnya meninggal akibat terserang penyakit. Setelah bermeditasi, Rsi Markandeya bersama sebagian pengikutnya kembali lagi ke lereng Raung. Keanehan muncul, pengikutnya mendadak sembuh setelah mandi di lereng Raung. Karena itu tempat tersebut kemudian disebut dengan nama Sugihwaras (sugih = kaya, waras = sehat). Mayoritas penduduk Sugihwaras sekarang pemeluk Hindu.
Kemudian, Rsi Markandeya kembali ke Bali disertai
sekitar 400 pengikut, mengangkut bale agung dari Raung. Sang Rsi juga membawa
panca datu, lima jenis logam yang menjadi cikal bakal upacara di Bali. Di Bali
bekas perjalanan Rsi Markandeya bisa ditemukan di Pura Raung, Tegalalang,
Gianyar.
Kepastian bekas kehidupan Resi Markandeya di lereng
Raung diketahui warga sekitar tahun 1966. Saat itu Agama Hindu sedang
berkembang setelah terjadi pergolakan politik peristiwa G 30 S/PKI. Pengikut
ajaran kejawen memilih Hindu sebagai patokan sembahyang. Setelah itu, warga
yang hidup di pinggir hutan Raung, tepatnya di Gumuk Kancil menemukan sebuah
genta terbuat dari kuningan.
Sejak itu, sejumlah peralatan sembahyang lainnya sering ditemukan, seperti arca Siwa. Kebanyakan barang itu terbuat dari bahan kuningan. Warga juga banyak menemukan perabot rumah tangga seperti cangkir, uang kepeng, tempat tirta, kendi. Hampir seluruh benda itu ditemukan dalam timbunan tanah.
Warga pun menemukan bekas bangunan candi di tengah hutan, terbuat dari batu padas berukir indah. Sebuah arca Siwa lingam juga ditemukan di tempat ini. Lokasinya di tengah hutan Gumuk Payung, Kecamatan Sempu, sekitar lima kilometer arah timur lereng Raung.
Bagi umat Hindu Sugihwaras, Rsi Markandeya menjadi panutannya. Untuk mengenang ajarannya, umat setempat membangun sebuah candi di Gumuk Kancil. Bentuknya menyerupai batu di atas bukit. Letaknya menghadap ke puncak gunung. Umat Hindu meyakini inilah bekas tempat pertapaanya Rsi Markandeya.
Candi di Gumuk Kancil itu terbuat dari batu andesit yang konon didatangkan dari puncak Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Agung di Bali, dibangun tahun 2001. Arsiteknya tokoh spiritual kejawen yang juga juru kunci Candi Prambanan, Yogyakarta, Dulhamid Jaya Prana. Berdirinya candi bertepatan dengan purnama kanem penanggalan Jawa.
Sejak itu, sejumlah peralatan sembahyang lainnya sering ditemukan, seperti arca Siwa. Kebanyakan barang itu terbuat dari bahan kuningan. Warga juga banyak menemukan perabot rumah tangga seperti cangkir, uang kepeng, tempat tirta, kendi. Hampir seluruh benda itu ditemukan dalam timbunan tanah.
Warga pun menemukan bekas bangunan candi di tengah hutan, terbuat dari batu padas berukir indah. Sebuah arca Siwa lingam juga ditemukan di tempat ini. Lokasinya di tengah hutan Gumuk Payung, Kecamatan Sempu, sekitar lima kilometer arah timur lereng Raung.
Bagi umat Hindu Sugihwaras, Rsi Markandeya menjadi panutannya. Untuk mengenang ajarannya, umat setempat membangun sebuah candi di Gumuk Kancil. Bentuknya menyerupai batu di atas bukit. Letaknya menghadap ke puncak gunung. Umat Hindu meyakini inilah bekas tempat pertapaanya Rsi Markandeya.
Candi di Gumuk Kancil itu terbuat dari batu andesit yang konon didatangkan dari puncak Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Agung di Bali, dibangun tahun 2001. Arsiteknya tokoh spiritual kejawen yang juga juru kunci Candi Prambanan, Yogyakarta, Dulhamid Jaya Prana. Berdirinya candi bertepatan dengan purnama kanem penanggalan Jawa.
Candi yang berdiri di lahan seluas 25 are itu
dilengkapi dengan arca Maha Rsi Markandeya, Ciwa dan Budha. Semuanya berbahan
baku batu merapi. Selain itu juga ada bale pawedan, tempat sesajen dan senderan.
Batu yang digunakan di Candi Agung Gumuk Kancil diusung dari Gunung Agung
Bali dan Muntilan, Jawa Tengah. Jenis batu dari Gunung Agung adalah andesit.
Batu tersebut sengaja didatangkan dari Bali dan Jateng, dengan maksud
menyatukan kembali tali perkawinan putri Gunung Agung dengan putra Jawa Tengah.
Selain itu, dengan perpaduan ini ada maksud ingin mengembalikan sejarah
perjalanan ritual Maha Rsi Markandeya yang dimulai dari Jawa menuju Bali. Candi
Agung Gumuk Kancil sengaja bermotif Prambanan karena Prambanan dikenal sebagai
candi terbesar umat Hindu. Karena itu candi ini menjadi simbol persatuan
Jawa-Bali.
Di candi setinggi 13 meter itu terdapat tiga arca
utama, yakni arca Siwa Mahadewa di sisi timur, arca Rsi Markandeya dan Tri
Murti di sisi barat. Di depan terdapat pintu utama candi untuk pemujaan.
MENJADI TUJUAN WISATA SPIRITUAL
Diantara ketiganya, yang dirasakan paling mistis adalah Patirtan Sumber Urip. Letaknya sekitar satu kilometer arah utara Gumuk Kancil. Mata air alami ini ditemukan tahun 1990-an. Sebelumnya mata air ini tertimbun hutan lindung. Sumber Urip merupakan mata air alami yang keluar dari batu.
Sejak tahun 2007, umat Hindu setempat membangun kawasan ini secara swadaya. Tepat di atas mata air utama didirikan sebuah arca Dewi Gangga yang membawa kendi. Dari sumber utama air dialirkan menggunakan 8 kepala naga. Aliran air tersebut kemudian diarahkan ke persawahan warga.
Tempat ini biasanya digunakan sebagai mendak tirta, mengambil air suci, untuk persembahyangan. Hampir tiap hari ada pengunjung datang ke mari. Rata-rata mereka peziarah spiritual. Beberapa di antaranya mengambil airnya untuk dibawa pulang. Kini, umat Hindu setempat mulai memperluas kawasan itu sebagai lokasi pemujaan. Perhutani juga mengizinkannya sebagai kawasan penyangga hutan lindung. Luasnya sekitar 100 m2. Sejak kawasan ini ditetapkan sebagai cagar budaya, masyarakat dilarang menebang pohon dan mengotori lokasi tersebut.
Lokasi lainnya Pura Puncak Raung dan Pura Giri Mulyo. Dua tempat suci ini berlokasi di bawah Candi Agung Gumuk Kancil. Sedangkan letak situs Candi Gumuk Payung agak jauh dari lokasi candi di Gumuk Kancil. Untuk mencapainya pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat hingga ke pintu gerbang situs.
MATA AIR SUMBER BEJI
0 komentar:
Posting Komentar