Wisata Banyuwangi - Masyarakat suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, memiliki berbagai tradisi dan ritual unik yang masih terpelihara sampai sekarang. Selain Barong Ider Bumi yang sudah populer, ada banyak tradisi masyarakat di Desa Kemiren lainnya seperti tradisi Selamatan Sedekah Lebaran, Tradisi Tumpeng Sewu, Tradisi Mepe Kasur, Tradisi Mengunyah Sirih, Ritual Mudun Lemah dan Tradisi Arak-Arakan Pengantin.
SELAMATAN SEDEKAH LEBARAN
Bagi
masyarakat Suku Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah,
Banyuwangi, saat berbuka puasa di hari terakhir Ramadan atau malam takbiran
menjelang hari raya memiliki makna tersendiri.
"Tradisi tumpeng sewu juga dipercaya dapat menjauhkan warga desa dari malapetaka dan ritual itu sekaligus untuk menghormati datangnya bulan haji atau Dzulhijjah," tuturnya.
Ritual mudun lemah adalah cara warga Suku Using yang ada di Banyuwangi dalam mengenalkan bumi dan tanah kepada buah hatinya yang baru berusia 7 bulan.
SELAMATAN SEDEKAH LEBARAN
Selamatan sedekah lebaran (Foto : Detik.com) |
Warga
Kemiren berkeyakinan di malam takbiran juga merupakan momen penting dari
serangkaian perayaan Idul Fitri tersebut. Ditiap tahunnya mereka rutin
menggelar tradisi "Selametan Sedekah Lebaran" yang
dilaksanakan dimasing-masing rumah.
Sedekahlebaran adalah selamatan kemenangan bagi masyarakat Desa Kemiren setelah
melaksanakan puasa ramadhan sebulan penuh. Tujuannya agar seluruh keluarga
diberi keselamatan saat unjung-unjung (anjangsana) atau silaturahmi di hari
Lebaran. Selain itu, kegiatan ini digelar untuk untuk mendoakan leluhur dari
warga Kemiren yang sudah meninggal.
Dalam
Selametan Lebaran ini, masyarakat Kemiren berkelompok melakukan doa bersama
dengan kerabat dan tetangga berjumlah sekitar 10 sampai 20 orang. Mereka secara
bersama-sama mengunjungi rumah dari anggota tersebut secara bergantian. Mereka
berdoa untuk para leluhur mereka dan untuk keselamatan tuan rumah dalam
menjalankan perayaan Idul Fitri.
Uniknya,
disaat anjang sana ditiap rumah anggota. Mereka diharuskan makan hidangan yang
disediakan. Jadi jika jumlah anggotanya 20 orang, mereka akan bersantap bersama
sebanyak 20 kali juga. Tapi sebelumnya dilakukan doa agar tuan rumah selamat,
banyak rejeki dan mendapat kesehatan.
Menu Selametan
Lebaran bermacam-macam. Mulai dari makanan khas desa Kemiren hingga masakan
khas ketupat lebaran pun disajikan untuk ritual tersebut. Semuanya dilakukan
untuk melestarikan budaya adat dan tradisi yang mereka anut.
Menyantap
hidangan yang disediakan tuan rumah tentunya tidak mudah. Apalagi dalam satu
kelompok yang berjumlah sekitar 10 sampai 20 orang. Perut tidak akan muat jika setiap
kali harus makan secara penuh, maka untuk mensiasatinya, banyak tamu atau
undangan selamatan yang hanya memakan krupuk atau buah-buahan saja.
TRADISI TUMPENG SEWU
(foto : Detik.com) |
Tumpeng Sewu merupakan ritual adat
selamatan massal yang telah berlangsung turun temurun pada suku Osing di Desa
Kemiren, sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan Yang
Maha Esa yang mereka terima selama satu tahun.
Tumpeng Sewu artinya tumpeng yang jumlahnya seribu. Disebut demikian karena biasanya setiap kepala keluarga mengeluarkan tumpeng minimal satu. Sedangkan di desa yang berjarak sekitar 5 km dari kota Banyuwangi itu dihuni 1.025 kepala keluarga.
Tumpeng sewu
diyakini merupakan selamatan tolak bala (menghindarkan dari segala bencana dan
sumber penyakit). “Kalau ritual itu ditinggalkan, maka akan berdampak buruk
kepada masyarakat Desa Kemiren, sehingga warga Osing menjaga tradisi itu hingga
turun temurun,” kata sesepuh adat Desa Kemiren, Juhadi Timbul.
"Tradisi tumpeng sewu juga dipercaya dapat menjauhkan warga desa dari malapetaka dan ritual itu sekaligus untuk menghormati datangnya bulan haji atau Dzulhijjah," tuturnya.
Menurut cerita rakyat setempat, selamatan tumpeng sewu tersebut berawal dari
cerita seseorang yang menjerit meminta tolong karena kesakitan dan warga yang
mendengar jeritan tersebut spontan mencari orang yang minta tolong.
Warga yang menjerit tersebut adalah Mbah Ramisin yang sedang kesurupan, kemudian Mbah Ramisin mengaku bahwa dirinya adalah Buyut Cili (tetua adat Desa Kemiren) yang meminta warga desa setempat melakukan selamatan satu tahun sekali.
Dalam acara selamatan itu, warga juga berdoa agar warga Desa Kemiren dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala.
Sebelum acara selamatan digelar, warga Desa Kemiren biasanya melakukan ritual menjemur kasur secara massal pada siang hari karena dipercaya sumber penyakit berada di tempat tidur. Warga Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka menjemur kasur di halaman rumah masing-masing, agar terhindar dari segala jenis penyakit.
Ritual tumpeng sewu ini ditandai dengan kegiatan di mana setiap rumah membuat nasi dalam bentuk kerucut dengan lauk pauk khas Osing, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur parutan kelapa yang sudah diberi bumbu). Makanan itu lantas ditaruh di depan rumah. Setiap pengunjung yang lewat akan diajak makan bersama secara lesehan di depan rumah.
Warga yang menjerit tersebut adalah Mbah Ramisin yang sedang kesurupan, kemudian Mbah Ramisin mengaku bahwa dirinya adalah Buyut Cili (tetua adat Desa Kemiren) yang meminta warga desa setempat melakukan selamatan satu tahun sekali.
Dalam acara selamatan itu, warga juga berdoa agar warga Desa Kemiren dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala.
Sebelum acara selamatan digelar, warga Desa Kemiren biasanya melakukan ritual menjemur kasur secara massal pada siang hari karena dipercaya sumber penyakit berada di tempat tidur. Warga Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka menjemur kasur di halaman rumah masing-masing, agar terhindar dari segala jenis penyakit.
Ritual tumpeng sewu ini ditandai dengan kegiatan di mana setiap rumah membuat nasi dalam bentuk kerucut dengan lauk pauk khas Osing, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur parutan kelapa yang sudah diberi bumbu). Makanan itu lantas ditaruh di depan rumah. Setiap pengunjung yang lewat akan diajak makan bersama secara lesehan di depan rumah.
Deretan tumpeng (foto : Tempo.co) |
Bentuk
mengerucut ini memiliki makna khusus, yakni petunjuk untuk mengabdi kepada Sang
Pencipta, di samping kewajiban untuk menyayangi sesama manusia dan lingkungan
alam. Sementara pecel pithik mengandung pesan moral yang bagus, yakni
"ngucel-ucel barang sithik". Dapat juga diartikan mengajak orang
berhemat dan senantiasa bersyukur.
Menikmati pecel pithik di depan rumah disepanjang jalan (foto : Kompas.com |
Dengan
diterangi oncor ajug-ajug (obor bambu berkaki empat), Tumpeng Sewu ini menjadi
sebuah ritual yang khas dan tetap sakral. Sebelum selamatan dimulai, masyarakat melakukan "ngarak barong" sebagai simbol penjaga Desa Kemiren. Selain itu mereka juga membakar daun kelapa kering di sepanjang jalan untuk menghilangkan marabahaya. Sebelum makan bersama, warga mengawalinya sholat maghrib berjamaan dan doa bersama
Usai makan bersama, warga membaca Lontar Yusuf (Surat Yusuf) hingga tengah malam di rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat. Lontar Yusuf yang merupakan rangkaian dari ritual ini menceritakan perjalanan hidup Nabi Yusuf.
Usai makan bersama, warga membaca Lontar Yusuf (Surat Yusuf) hingga tengah malam di rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat. Lontar Yusuf yang merupakan rangkaian dari ritual ini menceritakan perjalanan hidup Nabi Yusuf.
TRADISI MEPE KASUR
Warna kasur setiap warga kemiren sama (foto : Rri.co.id) |
Ada tradisi unik yang selalu dilakukan
masyarakat adat Using di Banyuwangi, Jawa Timur, setiap menjelang Hari Raya
Idul Adha. Yakni tradisi mepe kasur, atau menjemur kasur. Tradisi mepe kasur dilakukan setiap awal bulan Dzulhijah dalam
kalender Jawa dan Islam. Tetapi harus dilakukan di malam Senin atau Jumat.
Tradisi Mepe Kasur
ini merupakan bagian tak terpisah dari tradisi selamatan desa yang disebut Tumpeng
Sewu. Jika Tumpeng Sewu dilakukan pada malam hari, maka tradisi Mepe Kasur
dilakukan pada pagi sampai siang harinya.
Pada siang hari sebelum dilakukan tradisi Tumpeng Sewu, warga desa Kemiren melakukan ritual menjemur kasur (mepe kasur) secara massal.Ratusan kasur itu dijemur berderet-deret sepanjang jalan. Mepe kasur dimulai sejak pukul 07.00 WIB hingga sinar matahari meredup.
Pada siang hari sebelum dilakukan tradisi Tumpeng Sewu, warga desa Kemiren melakukan ritual menjemur kasur (mepe kasur) secara massal.Ratusan kasur itu dijemur berderet-deret sepanjang jalan. Mepe kasur dimulai sejak pukul 07.00 WIB hingga sinar matahari meredup.
Cara menjemur kasur memang tidak berbeda dengan di tempat lain. Kasur di
tempatkan di depan rumah atau pinggir jalan, di bawah teriknya matahari. Pada saat tertentu, ibu-ibu akan
memukul-mukul kasur dengan rotan untuk menghilangkan debu yang melekat. Yang
unik, semua kasur berwarna sama, yakni hitam dan bertepi merah.
Memang semua kasur warga Kemiren warnanya
khas, yaitu abang cemeng. Abang artinya merah dan cemeng berarti hitam. Abang cemeng merupakan bahasa Using. Sisi atas dan bawah
kasur kapuk itu berwarna hitam, sedangkan kelilingnya berwarna merah.
Menurut Timbul, sesepuh desa Kemiren, kasur
warga Using memang selalu dibuat demikian, sebagai lambang kerukunan dan
semangat bekerja dalam rumah tangga.
Hingga kini, tradisi berkasur hitam merah ini terus menerus diturunkan. Setiap pengantin baru akan menerima kasur baru dengan warna serupa dari orangtua mereka. Mungkin hanya di desa inilah springbed dan laundry kasur tak menemukan pasarnya.
Hingga kini, tradisi berkasur hitam merah ini terus menerus diturunkan. Setiap pengantin baru akan menerima kasur baru dengan warna serupa dari orangtua mereka. Mungkin hanya di desa inilah springbed dan laundry kasur tak menemukan pasarnya.
Namun menjadi unik
karena kasur itu dijemur secara bersamaan. Karenanya di sepanjang kiri dan
kanan jalan desa Kemiren terlihat kasur-kasur dijemur.Kasur yang dijemur juga
kasur khusus. Sebab warnanya khas Kemiren yakni abang cemeng. Abang dalam
Bahasa Indonesia berarti merah dan cemeng berarti hitam.
Dalam tradisi
masyarakat suku osing desa Kemiren, pasangan suami istri yang baru menikah
pasti mempunyai kasur abang cemeng. Warna Cemeng atau hitam bertujuan menolak
bala atau sial, sedagkan warna merah melambangkan kelanggengan dalam rumah
tangga. Jadi setiap pasangan baru berharap terjauh dari sial dan rumah
tanggannya langgeng dengan kasur abang cemeng.
Setelah mepe kasur,
warga setempat nyekar ke makam buyut Cili, leluhur desa setempat. Setelah itu,
acara arak-arakan barong dan arak-arakan obor blarak (daun kelapa kering).
TRADISI MENGUNYAH SIRIH (NGINANG)
(foto : Kompas.com) |
'Nginang'
merupakan kegiatan mengunyah sirih, tembakau, jambe, gambir dan kapur. Tradisi nginang atau mengunyah sirih ini sudah sulit ditemukan pada masyarakat
perkotaan di Indonesia. Namun di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi,
tradisi nginang ini masih berlangsung dalam masyarakat, meskipun terbatas di
kelompok usia lanjut. Dan uniknya, tradisi nginang ini dilombakan setiap
tahunnya.
Tujuan lomba
ini memang dilatarbelakangi untuk melestarikan tradisi nginang di kalangan
masyarakat desa Kemiren. Hal ini karena kegiatan nginang sudah nyaris hilang di
kalangan anak muda. Tak heran jika pesertanya adalah nenek-nenek yang berusia
50 tahun ke atas yang merupakan perwakilan dari 28 RT di Desa Kemiren.
Para nenek
duduk di kursi yang disediakan panitia sebelum tampil di panggung. Mereka
memakai baju terbaiknya yakni jarik dan kebaya.
Ibu-ibu warga desa Kemiren sedang mengikuti lomba Nginang (sumber : grup Facebook Banyuwangi Bersatu) |
Setiap
peserta membawa tempat kinang mereka. Tempat kinang ada yang terbuat dari
kuningan juga kayu. Ukiran mempercantik tempat kinang, baik dari kuningan
maupun kayu.
Dalam lomba
nginang, nenek-nenek itu harus beraksi di depan para juri. Mereka meracik dan mengunyah
sirih sambil melakukan wangsalan
atau berbalas pantun, menari atau nembang.
TRADISI MUDUN LEMAH
(foto : Liputan6.com) |
Ritual mudun lemah atau turun tanah ini wajib dilakukan bagi anak yang sudah masuk usia 7 bulan. Ritual mudun lemah ini diawali dengan tarian barong serta mengarak sang bayi bersama keluarga mengelilingi kampung. Usai diarak, pakaian bayi pun dilepas hingga tak ada sehelai benang pun sebagai gambaran bahwa setiap manusia lahir ke dunia tidak membawa apa-apa.
Agar bayi tidak menangis saat mengikuti ritual tersebut, bayi pun diajak bermain kuda-kudaan mengelilingi berbagai jajanan dan persyaratan ritual.
Agar bayi tidak menangis saat mengikuti ritual tersebut, bayi pun diajak bermain kuda-kudaan mengelilingi berbagai jajanan dan persyaratan ritual.
Selanjutnya, sang dalang yang memimpin ritual itu pun langsung membimbing bayi agar kedua kaki bayi dapat menyentuh tanah pertama kalinya. Pada saat itu, sang dalang juga memukulkan tangannya ke tanah sebanyak 3 kali sebagai tanda salam bahwa ada manusia baru yang akan memanfaatkan bumi untuk menjalani hidup hingga meninggal nanti.
KOLOAN, TRADISI SUNATAN SUKU OSING
Setelah itu si anak dibawa ke sungai dan dimandikan. Saat melangkah, si anak juga harus melewati benang yang diletakkan melintang di tanah. Bagi anak yang akan disunat, setelah mengikuti ritual Koloan ia tidak lagi merasa takut saat akan disunat.
Menurut Sanusi Marhaedi, seorang pemimpin ritual Koloan, menyembelih ayam merupakan simbol pengorbanan seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim yang mengorbankan anaknya Nabi Ismail. Harapannya setelah disunat nantinya si bocah bisa berbakti pada orangtuanya dan meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail. Selain itu juga diharapkan agar setelah melakukan pengorbanan semuanya berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan.
Ritual Koloan akan diakhiri dengan makan bersama
di halaman orangtua si anak dengan menu khas suku Osing, yaitu pecel pithik
yang dikuti oleh warga sekitar.
GEREDOAN, TRADISI MENCARI JODOH SUKU OSING
TRADISI KAWIN COLONG
Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimanyan, mengatakan, kawin colong menggambarkan kearifan masyarakat Using menghadapi persoalan. Colong artinya mencuri, tetapi mencuri untuk dinikahi meski ada proses setengah memaksa di dalamnya.
Tradisi kawin colong sangat jarang berakhir di meja hijau karena masyarakat Banyuwangi menganggapnya sebagai bagian dari adat dan tradisi. Pak RT, pak RW, lurah, atau hansip pun tak akan memperkarakannya ke pengadilan. Bahkan, bisa jadi mereka dulunya adalah pelaku kawin colong. Meski jarang, ada pula yang gagal dan berakhir di pengadilan. Biasanya kasus itu terjadi karena anak yang dicolong bukan berasal dari keluarga Osing.
Kawin colong biasanya berakhir damai dalam keluarga. Orangtua legawa menerima menantu pilihan anaknya. Anaknya pun bisa hidup bahagia dengan pilihannya.
ARAK-ARAKAN PENGANTIN DAN PROSESI PERANG BANGKAT
Penjaga gerbang dan ketua rombongan pengantin putri, sempat adu mulut. Hingga akhirnya, keduanya bertarung (perang) dengan menggunakan berbagai senjata. Senjatanya bukan senjata yang lazim digunakan untuk berperang. Mereka menggunakan senjata alat dapur seperti irus, siwur, kelapa, telur dan bahkan ayam hidup. Dalam perang ini, pihak penjaga gerbang ternyata kalah. “Kalau begitu, lamaran saya terima. Tapi, kami minta syarat,” pinta penjaga gerbang itu.
Sebagai syarat, ketua rombongan lalu menyerahkan berbagai ‘upeti’ seperti kasur dan bantal, kembang panca warna, wanci kinangan, wanci kendi, dan sebagainya. “Semua ini, kami serahkan untuk sang putri sebagai syarat,” cetus ketua rombongan mempelai pria.
Upacara tradisi perang bangkat ini, semuanya berupa simbol-simbol. Alat perang berupa irus, siwur, kelapa, dan telur, semuanya hanya menjadi simbol agar pasangan pengantin ini bisa langgeng. Irus sebagaia simbol agar pasangan pengantin berlangsung terus sampai kakek-nenek hingga meninggal, sedang siwur itu maksudnya agar jika bicara tidak sembarangan. Perang bangkat ini ibaratnya seperti tolak balak. Kalau tidak melakukan, biasanya pasangan pengantin akan banyak godaan dan rintangan dalam perjalanan hidupnya.
Demikianlah beberapa tradisi yang terdapat di masyarakat suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Tradisi-tradisi tersebut hingga saat ini masih berjalan dan terus dilestarikan oleh generasi muda suku Osing. Beberapa diantaranya bahkan dikembangkan dalam bentuk festival. Selain tradisi yang unik, masyarakat Osing juga memiliki seni budaya yang tetap terjaga.
Tradisi Koloan (foto : Kompas.com) |
Suku Osing di Kecamatan Glagah, Banyuwangi mempunyai tradisi
sunat atau khitan bagi anak-anaknya. Mereka yang akan disunat wajib menjalani
ritual khusus yang disebut Koloan. Koloan
artinya jebakan. Ritual Koloan dilakukan agar si anak siap karena pada umumnya
seorang anak takut kalau disunat.
Dalam tradisi Koloan, sang anak yang akan dikhitan harus
ditetesi darah ayam. Dengan dipimpin oleh seorang pemimpin ritual, si anak yang
bertelanjang dada duduk di atas kursi kayu kecil, di depannya terdapat beberapa
sesaji. Si pemimpin ritual lalu akan berdoa dalam Bahasa Osing sambil
mengusapkan bedak di wajah si anak. Kemudian seekor ayam jago warna merah
disembelih. Ayam yang dipilih harus berbulu merah dan belum kawin. Darah segar
yang keluar dari leher ayam diteteskan di atas kepala si anak dalam beberapa
menit hingga ayamnya mati.
Setelah itu si anak dibawa ke sungai dan dimandikan. Saat melangkah, si anak juga harus melewati benang yang diletakkan melintang di tanah. Bagi anak yang akan disunat, setelah mengikuti ritual Koloan ia tidak lagi merasa takut saat akan disunat.
Menurut Sanusi Marhaedi, seorang pemimpin ritual Koloan, menyembelih ayam merupakan simbol pengorbanan seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim yang mengorbankan anaknya Nabi Ismail. Harapannya setelah disunat nantinya si bocah bisa berbakti pada orangtuanya dan meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail. Selain itu juga diharapkan agar setelah melakukan pengorbanan semuanya berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan.
(foto : Kompas.com) |
GEREDOAN, TRADISI MENCARI JODOH SUKU OSING
Masyarakat Suku Osing mempunyai tradisi unik dalam mencari
jodoh yang disebut Geredoan. Gredoan, menurut Budayawan Banyuwangi, Hasnan
Singodimayan merupakan tradisi masyarakat Using untuk mencari jodoh terutama di
wilayah Kecamatan Kabat dan Kecamatan Rogojampi . "Gredo ini artinya
menggoda. Ini berlaku buat mereka yang gadis, perjaka, duda atau janda.
Diadakan bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Biasanya pada malam hari sebelum paginya selamatan di
masjid," jelasnya.
Geredhoan pada awal mulanya digelar di kantung-kantung
pemukiman Suku Osing di Banyuwangi, seperti Kecamatan Giri (Desa Boyolangu dan
Penataban), Kecamatan Glagah (Desa Banjarsari, Glagah, Bakungan, Keniten, dan
Mojopanggang), dan Singonjuruh. Tapi belakangan hanya dilakukan setahun sekali
di Desa Kabat, Dadapan, dan Rogojampi. Penyelenggaraannya bertepatan pada acara
Maulid Nabi SAW.
Di beberapa tempat dilakukan secara teratur, bahkan ada
panitia penyelenggaranya. Tiap keluarga diminta menyiapkan tepung, beras, gula,
dan bahan lain untuk membuat kue dan tumpeng, Bahan tersebut ditaruh di rumah gedek
(berdinding bambu) dekat masjid. Sambil memasak, para pemudi di dalam bilik itu
mengikuti salawat dan ceramah agama.
Sementara itu para lanceng (jejaka) membuat peralatan dan
hiasan upacara di luar rumah. Sembari bekerja mereka mengintip kesibukan para
gadis lewat lubang gedek. Jika menaksir, lanjut dengan acara ngobrol. Tapi
mereka tidak bicara langsung melainkan dibatasi dengan sekat dinding dari bambu
itu. Makin malam dilanjutkan dengan komunikasi lebih serius, yaitu meminta
kesediaan perempuan menerima cintanya.
Apa tandanya? Si jejaka memasukkan batang lidi janur lewat
lubang gedek. Jika si pemudi mematahkan ujung lidi, maka pertanda cintanya
ditolak. Sebaliknya bila dibentuk bulatan kecil mirip daun waru berarti
cintanya diterima. Kalau sudah begini, dilanjutkan dengan berbalas pantun.
Esoknya, tumpeng dan kue basah seperti nagasari, onde-onde,
pisang goreng, lemper, bikang, dan sate telur puyuh ditaruh dalam wadah persegi
dari bambu. Di bagian tengahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan telur
bertusuk sejumlah 99. Kemudian, dibawa ke masjid untuk dinikmati bersama-sama,
sambil bersalawat.
Tradisi Gredoan di Desa Macan Putih, Kecamatan Kabat,
Banyuwangi sampat saat ini masih terus terjaga dan berlangsung sangat meriah.
Ratusan warga baik dari Desa Macan Putih ataupun dari desa-desa lain
beramai-ramai mengunjungi Desa Macan Putih. Belum lagi beberapa atraksi yang
ditampilkan serta pawai keliling desa yang menampilkan beberapa hiburan seperti
aktraksi tarian tongkat api, musik daerah hingga karnaval boneka yang dibuat
oleh masyarakat Desa Macan Putih.
Sedangkan di Desa Gitik, Kecamatan Kabat acara geredhoan
diadakan secara ala kadarnya. Tidak selalu bulan Rabiulawal. Di rumah-rumah
yang digelar tradisi ini, pintunya dibuka lebar. Namun untuk ke pelaminan
tidaklah mudah, karena bisa saja orang tua tak setuju. Ada solusi lain, yaitu
kawin nyolong atau kawin lari, hanya dalam arti positif, yakni dinikahkan
dengan resmi. Soal jodoh Suku Osing yakin, selama janur belum melengkung, masih
ada kesempatan pihak lain untuk memperistri. Umumnya, perkawinan mereka juga
awet.
TRADISI KAWIN COLONG
Di Banyuwangi, masyarakat adat suku Osing mengenal istilah kawin colong, artinya menikah dengan
membawa lari pasangan terlebih dahulu. Kawin colong terjadi pada pasangan yang
saling mencintai, namun salah satu atau kedua orangtua tak sepakat. Bisa karena
sudah dijodohkan atau beda status sosial. Karena tak direstui Sang jejaka
dan Sang gadis sepakat bahwa pada hari tertentu Sang jejaka akan membawa lari
Sang gadis.
Ketika melaksanakan colongan “mencuri gadis”, Sang
jejaka biasanya ditemani oleh salah seorang kerabatnya yang mengawasi dari
jauh. Dalam waktu tidak lebih dari 24 jam Sang jejaka harus mengirim seorang colok yaitu orang yang memberitahu
keluarga Sang gadis bahwa anak gadisnya telah dicuri untuk dinikahi. Orang yang
dijadikan colok tentu saja sosok yang mempunyai kelebihan dan kepandaian serta
dihormati.
Utusan (colok) akan memberitahu orang tua Sang gadis bahwa
anak gadisnya telah dicuri dan tinggal di rumah orang tua Sang jejaka melalui
ungkapan “sapi wadon rika wis ana umabe sapi lanang, arane si X”. Yang
dimaksudkan sapi wadon adalah Sang gadis dan sapi lanang adalah
Sang jejaka.
Ketika mendapat pemberitahuan demikian, pihak orang tua Sang
gadis yang semula kurang setuju biasanya tidak akan menolak karena beranggapan
anak gadisnya tidak suci lagi. Kedua belah pihak kemudian mengadakan
pembicaraan untuk merundingkan pernikahan mereka.
Dalam tradisi kawin colong, orang yang berperan penting
dalam menyambungkan hubungan adalah colok/congkok. Colok semacam juru damai
atau penyampai pesan. Ia menjadi perantara yang bertugas sebagai penghubung
pihak keluarga calon pengantin laki-laki dengan pihak keluarga calon pengantin
perempuan yang hendak dinikahkan. Colok diberi tugas untuk menghubungi keluarga
perempuan yang dilarikan oleh pacarnya (melayokaken), atau menghubungi
keluarga seorang laki-laki yang telah ngeleboni (memberi tahu bahwa anak
gadisnya telah dibawa lari untuk dinikahi). Seorang colok menjelaskan
keberadaan kedua calon pengantin dan sekaligus memusyawarahkan hari pernikahan
mereka.
Biasanya keluarga laki-laki mencari orang yang berpengaruh,
seperti sesepuh desa atau ulama sebagai colok. Tujuannya agar orangtua pihak
perempuan segan serta bisa luluh dan adem hatinya.
Tidak gampang menjadi colok meski mereka adalah orang yang disegani. Kerap kali colok tetap ikut terimbas luapan emosi. Seorang colok pun harus pintar mendinginkan suasana. Selain membantu dengan memberi perspektif positif tentang pernikahan, colok juga punya trik untuk membuat orangtua pihak perempuan lebih lega.
Terkadang butuh waktu berhari-hari untuk menenangkan hati orangtua. Colok pun harus kerap datang ke rumah untuk meluluhkan hati mereka.
Tidak gampang menjadi colok meski mereka adalah orang yang disegani. Kerap kali colok tetap ikut terimbas luapan emosi. Seorang colok pun harus pintar mendinginkan suasana. Selain membantu dengan memberi perspektif positif tentang pernikahan, colok juga punya trik untuk membuat orangtua pihak perempuan lebih lega.
Terkadang butuh waktu berhari-hari untuk menenangkan hati orangtua. Colok pun harus kerap datang ke rumah untuk meluluhkan hati mereka.
Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimanyan, mengatakan, kawin colong menggambarkan kearifan masyarakat Using menghadapi persoalan. Colong artinya mencuri, tetapi mencuri untuk dinikahi meski ada proses setengah memaksa di dalamnya.
Tradisi kawin colong sangat jarang berakhir di meja hijau karena masyarakat Banyuwangi menganggapnya sebagai bagian dari adat dan tradisi. Pak RT, pak RW, lurah, atau hansip pun tak akan memperkarakannya ke pengadilan. Bahkan, bisa jadi mereka dulunya adalah pelaku kawin colong. Meski jarang, ada pula yang gagal dan berakhir di pengadilan. Biasanya kasus itu terjadi karena anak yang dicolong bukan berasal dari keluarga Osing.
Kawin colong biasanya berakhir damai dalam keluarga. Orangtua legawa menerima menantu pilihan anaknya. Anaknya pun bisa hidup bahagia dengan pilihannya.
Colongan dalam masyarakat Using/Banyuwangi bukan dianggap
sebagai perbuatan salah. Bahkan colongan dianggap sebagai bukti keberanian dan
sekaligus simbol kejantanan, serta peredam konflik antara dua keluarga.
ARAK-ARAKAN PENGANTIN DAN PROSESI PERANG BANGKAT
Rombongan arak-arakan pengantin Suku Osing. |
Ada tradisi yang unik dalam pernikahan Suku Osing Desa
Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, yaitu tradisi arak-arakan pengantin yang begitu
ramai hingga memacetkan arus lalu lintas jalan desa setempat.
Dalam tradisi tersebut, pihak pengantin lelaki diarak oleh keluarga dan famili. Yang ikut arak-arakan bukan hanya keluarga pengantin, namun semua barang seserahan dari mempelai laki-laki juga turut diarak. Seperti bantal, guling yang diikat dalam tikar, berikut alat-alat masak. Tak ketinggalan ayam, sendok sayur (irus), telur ayam kampung, kelapa, pisang, beras kuning dan alat makan sirih atau disebut wanci kinang.
Dalam tradisi tersebut, pihak pengantin lelaki diarak oleh keluarga dan famili. Yang ikut arak-arakan bukan hanya keluarga pengantin, namun semua barang seserahan dari mempelai laki-laki juga turut diarak. Seperti bantal, guling yang diikat dalam tikar, berikut alat-alat masak. Tak ketinggalan ayam, sendok sayur (irus), telur ayam kampung, kelapa, pisang, beras kuning dan alat makan sirih atau disebut wanci kinang.
Arak-arakan ini juga melibatkan sejumlah kesenian asli suku
Using, seperti jaran kecak (kuda
terlatih yang bisa menari). Kuda ini mengiringi kereta kuda yang dinaiki
pengantin di sepanjang perjalanan. Ada juga Barong Kemiren, kesenian
pitek-pitekan, dan kuntulan. Iring-iringan pengantin seperti ini akan berakhir
di rumah mempelai pengantin wanita.
Yang menjadi heboh dan menarik dari tradisi iring-iringan
pengantin Suku Osing ini, hampir semua warga yang rumahnya dilewati
iring-iringan pengantin akan bergabung ke dalam rombongan. Mereka berbaur
menjadi satu dengan kerabat, handai taulan dari kedua mempelai pengantin.
Sehingga semakin mendekati rumah mempelai wanita, jumlah warga yang mengiringi
akan semakin bertambah banyak.
Setiba di dekat rumah pengantin putri, mereka dihadang oleh jambangan. Terpasang selembar kain jarit yang diibaratkan sebagai gerbang. Setelah itu dilanjutkan dengan prosesi Perang Bangkat.
Setiba di dekat rumah pengantin putri, mereka dihadang oleh jambangan. Terpasang selembar kain jarit yang diibaratkan sebagai gerbang. Setelah itu dilanjutkan dengan prosesi Perang Bangkat.
Prosesi Perang Bangkat dalam pernikahan Suku Osing |
Dari dalam gerbang, salah satu keluarga pengantin putri yang
jadi penjaga gerbang menanyakan keperluan datangnya rombongan tidak dikenal
itu. Begitu dijawab bahwa maksud kedatangannya adalah melamar sang putri,
penjaga gerbang itu langsung marah dan menolak mereka. “Kami akan tetap melamar
sang putri,” tegas ketua rombongan pengantin putra.
Penjaga gerbang dan ketua rombongan pengantin putri, sempat adu mulut. Hingga akhirnya, keduanya bertarung (perang) dengan menggunakan berbagai senjata. Senjatanya bukan senjata yang lazim digunakan untuk berperang. Mereka menggunakan senjata alat dapur seperti irus, siwur, kelapa, telur dan bahkan ayam hidup. Dalam perang ini, pihak penjaga gerbang ternyata kalah. “Kalau begitu, lamaran saya terima. Tapi, kami minta syarat,” pinta penjaga gerbang itu.
Sebagai syarat, ketua rombongan lalu menyerahkan berbagai ‘upeti’ seperti kasur dan bantal, kembang panca warna, wanci kinangan, wanci kendi, dan sebagainya. “Semua ini, kami serahkan untuk sang putri sebagai syarat,” cetus ketua rombongan mempelai pria.
Perang bangkat ini diakhiri dengan dipertemukan pasangan
pengantin. Keduanya, diminta untuk bersalaman sambil didoakan oleh sesepuh suku
Using.
Dinamakan Perang Bangkat, lantaran prosesi yang penuh petuah
ini selama berlangsung layaknya sebuah perang. Namun bukan perang fisik.
Melainkan perang argumentasi yang dikemas dengan sebuah drama antara pihak
mempelai laki-laki (Raja) dan pihak mempelai wanita (Ratu).
Namun Perang Bangkat itu hanya sebatas formalitas belaka
sebelum penghulu dari Kantor Urusan Agama menikahkan calon pengantin secara
resmi. Meski begitu Suku Using Banyuwangi sangat menjunjung nilai luhur yang
terkandung dari upacara tersebut.
Dari ritual perang bangkat tersebut, yang paling ditunggu
oleh warga yang menyaksikan dan mengikuti tradisi ini adalah saat beras kuning
bercampur uang koin dilempar diakhir acara. Tanpa dikomando lagi akan
diperebutkan oleh warga. Terutama bagi mereka yang belum memiliki jodoh. sebab
uang-uang koin itu dipercaya dapat menjadi perantara bertemu dengan jodoh
masing-masing.
Itulah sekilas pelaksanaan perang bangkat, yang jadi tradisi khusus dalam suku Using pada pernikahan. Dalam upacara itu, peran ketua rombongan dan penjaga gerbang dilakukan oleh sesepuh Suku Using yang dianggap memiliki kelebihan tertentu.
Itulah sekilas pelaksanaan perang bangkat, yang jadi tradisi khusus dalam suku Using pada pernikahan. Dalam upacara itu, peran ketua rombongan dan penjaga gerbang dilakukan oleh sesepuh Suku Using yang dianggap memiliki kelebihan tertentu.
Tradisi perang bangkat dalam pernikahan suku Osing ini tidak
berlaku untuk semua pasangan pengantin, tetapi hanya berlangsung dalam kondisi
tertentu saja. Yaitu bila kedua pasangan pengantin itu sama-sama anak sulung
atau bungsu, maka perang bangkat harus dilaksanakan. Perang bangkat juga
dilakukan jika anak sulung mendapat jodoh anak bungsu.
Upacara tradisi perang bangkat ini, semuanya berupa simbol-simbol. Alat perang berupa irus, siwur, kelapa, dan telur, semuanya hanya menjadi simbol agar pasangan pengantin ini bisa langgeng. Irus sebagaia simbol agar pasangan pengantin berlangsung terus sampai kakek-nenek hingga meninggal, sedang siwur itu maksudnya agar jika bicara tidak sembarangan. Perang bangkat ini ibaratnya seperti tolak balak. Kalau tidak melakukan, biasanya pasangan pengantin akan banyak godaan dan rintangan dalam perjalanan hidupnya.
Demikianlah beberapa tradisi yang terdapat di masyarakat suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Tradisi-tradisi tersebut hingga saat ini masih berjalan dan terus dilestarikan oleh generasi muda suku Osing. Beberapa diantaranya bahkan dikembangkan dalam bentuk festival. Selain tradisi yang unik, masyarakat Osing juga memiliki seni budaya yang tetap terjaga.
tanks tuk artikelnya.memperkaya khasanah budaya Jawa Timur
BalasHapusPaket Wisata Banyuwangi
BalasHapusPaket Tour Banyuwangi
Paket Wisata Banyuwangi Murah
Travel Banyuwangi
BalasHapusTravel Banyuwangi Bali
Travel Banyuwangi Surabaya