Wisata Banyuwangi - Berbagai cara dan ritual dilakukan masyarakat Indonesia
dalam merayakan tahun baru Islam yang dalam penanggalan Jawa dikenal sebagai
bulan Sura. Salah satunya adalah menggelar Tradisi
Sapi-Sapian seperti yang dilakukan warga Desa Kenjo, Kecamatan Glagah,
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Asal muasal Tradisi Sapi-Sapian bermula pada
sekitar tahun 1700-an, saat tiga orang asal Bugis pertama kali membuka lahan di
wilayah desa tersebut. Namun karena kesulitan air, maka mereka memilih lokasi
lain di wilayah yang sekarang berada di Desa Kenjo.
Setelah menemukan sumber air, mereka membuka lahan persawahan. Untuk membajak sawah, mereka menggunakan tenaga manusia. Dua orang menjadi sapi untuk menarik bajak dan satu orang lagi bagian memegang bajak. Karena kelelahan, lalu mereka mencari binatang untuk membantu membajak dan hanya menemukan binatang sapi.
"Karena itulah warga sini semuanya lebih banyak memilih sapi untuk membajak sawah, bukan kerbau. Untuk mengenang leluhur yang sering kami sebut Mbah Daeng, maka kami mengadakan tradisi 'Sapi-sapian' seperti saat ini," tutur Busairi.
Dalam tradisi "Sapi-sapian" ini, masyarakat desa akan menyaksikan teatrikal cara bercocok tanam yang baik seperti memilih bibit, menyebar benih, membajak tanah, menghalau hama dan juga cara panen. Hal ini bertujuan mengingatkan agar manusia kembali ke alam, menggunakan pupuk alami dan memilih musim yang tepat, mulai tanam sampai panen. Serta bagaimana manusia bersyukur atas berkah Tuhan.
Sementara itu, dalam tradisi tersebut juga dijelaskan bahwa nama Kenjo berasal dari Kunjo, dalam bahasa Using bermakna tempat air.
"Dibandingkan di wilayah lain, di desa ini airnya melimpah sehingga banyak yang mengambil air ke sini menggunakan Kunjo yang artinya tempat air, kemudian dikenal sebagai Desa Kenjo," jelasnya.
Dibandingkan tradisi lain seperti Kebo-keboan yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Banyuwangi, tradisi "Sapi-sapian" sangat jarang diketahui, kecuali oleh warga sekitar. Karena selain di lokasi Desa Kenjo yang berada cukup terpencil, kegiatan tersebut sampai 2014 belum masuk ke agenda pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
Tradisi Sapi-Sapian diawali dengan dengan selamatan tumpeng
bersama warga. Menjelang tengah hari arak-arakan berkeliling kampung yang
dimulai dari depan kantor Kepala Desa Kenjo. Sekitar 3 kilometer sapi-sapian
ini akan diarak keliling jalan kampung.
Dalam tradisi Sapi-sapian tersebut, masyarakat Desa Kenjo mengarak dua warga yang mengenakan
baju warna-warni dengan menggunakan tutup kepala seperti kepala sapi sambil
berkeliling desa. Bahu mereka dikaitkan dengan bambu membentuk seperti alat
bajak di sawah. Di belakangnya rombongan ibu-ibu membawa berbagai macam hasil
bumi, petani yang membawa alat persawahan dan berbagai alat musik yang
dibunyikan. Tradisi yang dilaksanakan tersebut murni dari swadaya masyarakat
yang tinggal di sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Banyuwangi.
"Ini merupakan salah satu cara kami untuk mengucapkan syukur atas semua yang sudah diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa. Selain itu, tradisi Sapi-sapian merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang yang membuka desa ini," jelas Busairi, tokoh adat Desa Kenjo. Tradisi Sapi-sapian yang juga dimaksudkan sebagai ritual bersih desa ini terakhir kali dilakukan pada tahun 1962. Sejak dua tahun terakhir ini ritual tersebut sengaja digelar untuk menghidupkan tradisi nenek moyang dan agar warga setempat mengetahui cikal bakal desanya.
"Ini merupakan salah satu cara kami untuk mengucapkan syukur atas semua yang sudah diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa. Selain itu, tradisi Sapi-sapian merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang yang membuka desa ini," jelas Busairi, tokoh adat Desa Kenjo. Tradisi Sapi-sapian yang juga dimaksudkan sebagai ritual bersih desa ini terakhir kali dilakukan pada tahun 1962. Sejak dua tahun terakhir ini ritual tersebut sengaja digelar untuk menghidupkan tradisi nenek moyang dan agar warga setempat mengetahui cikal bakal desanya.
Setelah menemukan sumber air, mereka membuka lahan persawahan. Untuk membajak sawah, mereka menggunakan tenaga manusia. Dua orang menjadi sapi untuk menarik bajak dan satu orang lagi bagian memegang bajak. Karena kelelahan, lalu mereka mencari binatang untuk membantu membajak dan hanya menemukan binatang sapi.
"Karena itulah warga sini semuanya lebih banyak memilih sapi untuk membajak sawah, bukan kerbau. Untuk mengenang leluhur yang sering kami sebut Mbah Daeng, maka kami mengadakan tradisi 'Sapi-sapian' seperti saat ini," tutur Busairi.
Dalam tradisi "Sapi-sapian" ini, masyarakat desa akan menyaksikan teatrikal cara bercocok tanam yang baik seperti memilih bibit, menyebar benih, membajak tanah, menghalau hama dan juga cara panen. Hal ini bertujuan mengingatkan agar manusia kembali ke alam, menggunakan pupuk alami dan memilih musim yang tepat, mulai tanam sampai panen. Serta bagaimana manusia bersyukur atas berkah Tuhan.
Sementara itu, dalam tradisi tersebut juga dijelaskan bahwa nama Kenjo berasal dari Kunjo, dalam bahasa Using bermakna tempat air.
"Dibandingkan di wilayah lain, di desa ini airnya melimpah sehingga banyak yang mengambil air ke sini menggunakan Kunjo yang artinya tempat air, kemudian dikenal sebagai Desa Kenjo," jelasnya.
Dibandingkan tradisi lain seperti Kebo-keboan yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Banyuwangi, tradisi "Sapi-sapian" sangat jarang diketahui, kecuali oleh warga sekitar. Karena selain di lokasi Desa Kenjo yang berada cukup terpencil, kegiatan tersebut sampai 2014 belum masuk ke agenda pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
0 komentar:
Posting Komentar