Festival Kuwung sukses menutup rangkaian 72 even Banyuwangi
Festival 2017. Ribuan penonton yang memadati sepanjang jalan Ahmad Yani hingga
ke Taman Blambangan, menjadi saksi nyata antusias warga Bumi Blambangan
menyaksikan jalannya salah satu festival tertua di Banyuwangi, Sabtu
(9/12/1017).
Kuwung dalam bahasa Osing berarti pelangi, jadi Festival
Kuwung adalah festival yang menampilkan pesona keanekaragaman seni budaya yang
ada di Banyuwangi. Ini yang membedakan Festival Kuwung dengan festival lain.
Festival lain menampilkan satu tematik budaya Banyuwangi, sedangkan Festival Kuwung menyajikan aneka ragam
kesenian Banyuwangi dalam satuan pertunjukan dan cerita yang menarik.
Satu lagi yang membuat beda, Festival Kuwung digelar di
malam hari dengan mengambil jalanan utama Banyuwangi sebagai panggungnya. Tentu
saja memiliki tingkat kesulitan yang tinggi sekaligus membutuhkan persiapan
yang matang. Dengan mengambil jalanan sebagai panggung terbuka, pihak panitia
dituntut mengamankan festival berjalan lancar dan aman dari kemungkinan turun
hujan, mengingat Desember adalah musim hujan. Disisi lain, peralatan sound
system dan lampu sorot berkuatan tinggi juga beresiko jika terjadi hujan.
Dan believe it or not,
sepanjang Festival Kuwung digelar selama ini, tidak pernah sekalipun hujan
turun disaat festival berlangsung! Hujan boleh turun di wilayah lain
Banyuwangi, tapi di lokasi festival terang benderang. Mystique? No, this is
part of the majestic Banyuwangi.
Festival Kuwung tahun 2017 ini mengambil tema 'Mekar
Semebyar Tamansari Nusantara'. Dengan menyajikan sendratari kolosal, tema ini
menceritakan sejarah panjang Banyuwangi. Mulai dari era Kedaton Wetan yang
menjadikan Banyuwangi bagian dari Kerajaan Majapahit hingga masa perlawanan era
modern dimana Banyuwangi menjadi kabupaten di bawah kepemimpinan bupati
pertama, Mas Alit.
Sejarah yang membentang lebih dari enam abad lamanya itu, ditampilkan dalam alur cerita yang terbagi dalam enam fragmen. Setiap fragmen dibawakan oleh 100 orang pemain seni. Setiap gerak dan lakon yang ditampilkan akan diiringi musik dan gending sesuai ceritanya.
Fragmen pertama mengambil tema 'Bhre Wirabumi Nagih
Paugeran' yang menceritakan konflik Kerajaan Majapahit pasca mangkatnya Pangeran
Hayam Wuruk. Bhre Wirabhumi yang semestinya menjadi pengganti, diserobot oleh
Wikrimawardana. Hal ini lantas membuat Bhre Wirabhumi menuntut ‘paugeran’ alias
tatanan yang semestinya berlaku.
Pertikaian keduanya itu, kemudian membelah Majapahit menjadi Kedaton Kulon dan Kedaton Wetan. Dari Kedaton Wetan yang dipimpin oleh Bre Wirabumi inilah, menjadi asal-muasal dari lahirnya Kerajaan Blambangan.
Fragmen kedua mengambil judul 'Purnama di Bumi Blambangan'. Sekuel ini, menceritakan tentang masuknya agama Islam yang dibawa oleh Syekh Maulana Ishaq di Blambangan. Dengan mengelaborasi tari Rodat Syiiran, fragmen ini terasa pas. Tari Rodat yang bernuansa islami, cocok untuk menggambarkan kegigihan Maulana Ishaq menyebarkan Islam di ujung Timur Pulau Jawa tersebut.
Pertikaian keduanya itu, kemudian membelah Majapahit menjadi Kedaton Kulon dan Kedaton Wetan. Dari Kedaton Wetan yang dipimpin oleh Bre Wirabumi inilah, menjadi asal-muasal dari lahirnya Kerajaan Blambangan.
Fragmen kedua mengambil judul 'Purnama di Bumi Blambangan'. Sekuel ini, menceritakan tentang masuknya agama Islam yang dibawa oleh Syekh Maulana Ishaq di Blambangan. Dengan mengelaborasi tari Rodat Syiiran, fragmen ini terasa pas. Tari Rodat yang bernuansa islami, cocok untuk menggambarkan kegigihan Maulana Ishaq menyebarkan Islam di ujung Timur Pulau Jawa tersebut.
Kehebatan Blambangan ternyata mengundang banyak pihak yang ingin menguasainya. Setelah Kerajaan Mataram tak mampu menguasai Blambangan, sebagaimana diceritakan dalam fragmen ‘Agunge Wong Agung Wilis’, kini giliran penjajah Belanda yang ingin merebutnya. Di bawah komando Wong Agung Wilis, Belanda yang mulai mendarat di Pelabuhan Banyualit, digempur habis-habisan.
Nuansa heroisme yang masih begitu kental pada fragmen-fragmen selanjutnya. Setelah era Wong Agung Wilis, fragmen selanjutnya beralih pada judul ‘Jogopati Belo Pati’. Babak ini menceritakan sengitnya perlawanan rakyat Blambangan melawan penjajah. Di bawah kepemimpinan Rempeg Jogopati dan Sayu Wiwit, rakyat Blambangan melakukan perang puputan. Peperangan yang memuncak pada 18 Desember 1771 itulah yang menjadi hari lahir Banyuwangi.
Selain fragmen-fragmen utama di atas, Festival Kuwung kali ini juga dimeriahkan oleh kontingen kebudayaan dari luar daerah. Ada seni jaranan dan singo barong dari Kota Kediri dengan judul ‘Songgo Langit Patemboyo. Adapula tarian barong Banaspati Raja dari Kabupaten Gianyar dan seni musik Bala Ganjur Bala Gora dari Kabupaten Jembrana, Bali. Sedangkan dari Kabupaten Kediri menampilkan sendratari berjudul Panji Sumirang.
0 komentar:
Posting Komentar