Festival Gandrung Sewu Banyuwangi - Banyuwangi dikenal sebagai kota Gandrung dan Gandrung identik
dengan Banyuwangi.Tari Gandrung merupakan kesenian asli yang lahir
dan berkembang di Banyuwangi dan memiliki sejarah yang panjang. Gandrung yang
berasal dari Bahasa Banyuwangi yang berarti suka, tergila-gila, atau terpesona. Masyarakat Banyuwangi sendiri menterjemahkan gandrung sebagai wujud terpesona
atau kekaguman masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi
Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Tari Gandrung dipersembahkan sebagai wujud rasa syukur masyarakat sehabis panen (Wikipedia). Filosofi penghormatan terhadap Dewi Sri inilah
yang menjadi spirit masyarakat untuk mengembangkan dan melestarikan Tari
Gandrung.
Awalnya Tari gandrung dibawakan oleh penari laki-laki dengan
dandanan perempuan. Namun dengan berkembangnya Islam di bumi Blambangan, Gandrung Lanang mulai pudar. Konon hal
ini berkaitan dengan ajaran Islam yang menabukan lelaki berdandan ala
perempuan. Dan era Gandrung lanang
benar-benar berakhir setelah kematian penari terakhirnya, Marsan.
Setelah itu muncullah Semi, yang saat itu baru berusia 10
tahun, ditahbiskan sebagai Gandrung perempuan pertama pada tahun 1895. Sejak
itu tari Gandrung lebih dominan dibawakan oleh perempuan daripada laki-laki.
Di Banyuwangi secara resmi Gandrung telah dinobatkan sebagai
ikon daerah. Bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Banyuwangi 2002, Gandrung
dikukuhkan sebagai maskot Kabupaten Banyuwangi. Diberbagai tempat dibangun patung penari
Gandrung, menggantikan lambang sebelumnya, ular berkepala Gatot Kaca.
Di sekolah-sekolah, tari Gandrung menjadi sebagai kegiatan
ekstra kurikuler yang diwajibkan. Di masyarakat tari Gandrung juga dikembangkan
melalui sanggar-sanggar tari.
Melalui SK Bupati nomor 147 tahun 2013, Tari Jejer Gandrung
yang merupakan bagian dari tari gandrung ditetapkan sebagai tari selamat datang
di kabupaten Banyuwangi. Sejak itu tari Gandrung dijadikan tarian selamat
datang untuk kegiatan resmi, seperti menyambut tamu penting atau ditampilkan
dalam acara-acara budaya dan pariwisata.
Puncaknya, pada tahun 2013 Tari Gandrung ditetapkan sebagai
"Warisan Budaya Tak Benda" oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(kini Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah).
Dengan pengakuan secara resmi tersebut, stigma negatif
tentang keberadaan penari Gandrung di masa lalu pun berlalu dengan sendirinya.
Gandrung yang memang sudah ada sejak berabad-abad lalu semakin mengakar di hati
masyarakat Banyuwangi. Gandrung semakin digandrungi. Dimana-mana tari Gandrung
selalu dimunculkan, dalam acara disekolah maupun karnaval di masyarakat, selalu
ada Gandrung disana.
Bahkan Gandrung pun sudah melalang buana. Diberbagai
misi-misi kebudayaan ke luar negeri, tarian Gandrung sering tampil. Setidaknya
Gandrung pernah ditampilkan di Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok. Yang terakhir,
legenda gandrung Banyuwangi, Temu, menari di salah satu rangkaian acara
Frankfurt Book Fair 2015 di Jerman pertengahan Agustus lalu.
Gandrung memang telah menjadi tuan rumah di negerinya
sendiri. Gandrung tidak terpinggirkan didaerahnya, nasibnya tidak seperti
berbagai kesenian daerah lain yang mati suri. Meskipun demikian Pemkab
Banyuwangi tidak terlena. Pemkab Banyuwangi menyadari untuk menumbuhkan
kecintaan dan melestarian budaya tidak bisa dilakukan secara instan dan terpisah
dengan pembangunan daerah. Salah satunya melalui pengembangan pariwisata. Dari
sini muncul ide menampilkan gandrung secara massal. Maka lahirlah Gandrung Sewu.
Gandrung Sewu adalah ide spektakuler. Selain dirancang untuk
mempromosikan Banyuwangi, Gandrung Sewu juga digunakan untuk menumbuhkan
kecintaan masyarakat Banyuwangi terhadap seni dan budaya daerahnya.
Gandrung Sewu menjadi atraksi istimewa karena melibatkan lebih dari seribu penari, panggungnya di bibir pantai, penontonnya berskala nasional dan dikemas secara unik dengan tema yang membumi. Hal ini memberi kebanggaan yang luar biasa bagi si penari Gandrung yang biasanya hanya tampil didepan penonton lokal.Kami mencari cara bagaimana agar anak-anak penari diberi panggung yang istimewa. Karena selama ini mereka hanya tampil di desa saja. Tidak ada kebanggaan lebih, karena yang nonton hanya orang-orang di lingkungannya," kata Bupati Anas.
Dan Gandrung Sewu memang menjadi bukti faktual bagaimana
sebuah budaya mampu menggerakkan partisipasi rakyat. Pagelaran Gandrung Sewu
bukan hanya sekedar pertunjukan tari kolosal, tapi mengandung makna konsolidasi
budaya yang melibatkan banyak pihak.
Gandrung sewu telah menjadi daya tarik wisata tersendiri bagi daerah. Namun even ini tidak hanya menjadi sebuah atraksi wisata, tapi sekaligus sebuah konsolidasi budaya yang mampu membangkitkan partisipasi segenap rakyat Banyuwangi dalam memajukan budaya daerah," kata Anas.
Melalui pagelaran kolosal Gandrung Sewu, masyarakat tidak
hanya menjadi penonton namun terlibat langsung dalam upaya pelestarian seni
budaya daerah itu sendiri. Gandrung Sewu telah menggerakkan semangat anak muda
Banyuwangi untuk mempelajari seni budaya daerahnya. Para penari Gandrung dengan
semangat tinggi ingin ambil bagian dalam event budaya itu. Besarnya animo
masyarakat membuat tim seleksi harus mengadakan audisi di 24 Kecamatan mengingat
jumlah pendaftar jauh melebihi kuoto. Mereka yang terpilih berlatih selama
3 bulan dengan sukarela dan membiayai pementasannya, mereka hanya diberi uang
pengganti sewa baju.
Di sisi lain, gaung Festival Gandrung Sewu juga mampu menggerakan
perputaran ekonomi bagi masyarakat. Banyaknya peserta dan besarnya biaya yang
harus ditanggung para penari, tak pelak menjadi berkah bagi para pihak yang
terlibat dalam pagelaran. Mereka adalah para pelatih dan koreografer Gandrung,
perajin kostum Gandrung, dan perias wajah. Konon harga sebuah kostum penari
Gandrung tidak kurang dari Rp 1,5 juta dan ongkos rias wajah Rp 250 ribu. Diperkirakan
biaya yang dikeluarkan setiap penari sekitar Rp 2 juta untuk membiayai
persiapan dan penampilannya di pagelaran Gandrung Sewu.
Ibarat pepatah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui,
Gandrung Sewu berhasil memberi dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi kreatif,
regenerasi Gandrung, dan perkembangan pariwisata Banyuwangi secara keseluruhan.
Sukses Banyuwangi dalam mengelola kebudayaan dan melakukan
regenerasi gandrung itu mendapat apresiasi Dirjen Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan.
Guru besar ilmu politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu mengatakan, Banyuwangi telah berhasil membangun sebuah ekosistem kebudayaan yang terbentuk lewat keterlibatan banyak pihak, mulai sekolah, sanggar, hingga pelaku wisata dalam perhelatan ini. Ekosistem ini menjadi dasar bagi pengembangan budaya yang kuat.
Guru besar ilmu politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu mengatakan, Banyuwangi telah berhasil membangun sebuah ekosistem kebudayaan yang terbentuk lewat keterlibatan banyak pihak, mulai sekolah, sanggar, hingga pelaku wisata dalam perhelatan ini. Ekosistem ini menjadi dasar bagi pengembangan budaya yang kuat.
Ia menilai Banyuwangi berhasil meletakkan kebudayaan sebagai
bagian penting dari pembangunan. Kebudayaan tidak dipinggirkan tapi
dikedepankan, menjadi pondasi sekaligus arah bagi pembangunan.
Kalau daerah mau maju harus menjadikan kebudayaan bagian dari pembangunan. Banyuwangi bisa menjadi contoh bagi daerah lain," ujar Kacung.
GANDRUNG SEWU 2012
Festival Gandrung Sewu pertama kali digelar pada 17
November 2012 di Pantai Boom Banyuwangi, diikuti oleh 1.044 penari yang terdiri
para pelajar SD, SMP, dan SMA Banyuwangi. Mereka menari Gandrung secara massal
di Pantai Boom.
Pagelaran Gandrung Sewu yang mengambil tema Jejer Gandrung ini tidak hanya menampilkan tarian
semata, namun lengkap dengan drama kolosal sejarah tari Gandrung Banyuwangi.
Tujuannya agar masyarakat tahu sejarah tarian Gandrung.
Gandrung sewu 2012 dengan tema "Jejer Gandrung" (foto : Manisnyaberbagi.blogspot.co.id) |
Acara diawali dengan kesenian Kuda Lumping Buto.
Dan dilanjutkan dengan aksi teatrikal yang mengisahkan sejarah asal muasal
tarian Gandrung, lalu dilanjutkan dengan penampilan Gandrung Sewu sebagai acara
pamungkas.
Gandrung Sewu 2012
dibuka dengan cerita VOC Belanda yang menguasai Banyuwangi dan memperbudak
rakyat Banyuwangi. Setelah melakukan penyiksaan kepada warga pribumi, para
penjajah biasa berpesta dengan menari diiringi penari gandrung yang saat itu
bukan perempuan, namun laki-laki.
Perlawanan terus dilakukan oleh pribumi, hingga pada saat
Belanda berhasil diusir dari bumi Indonesia. Namun tari Gandrung tetap
dilestarikan hingga sekarang sebagai warisan budaya Banyuwangi. Diakhir pertunjukan, seluruh penari Gandrung kompak meneriakkan " Isun Gandrung ... gandrungono!" Yang artinya "Saya Gandrung, cintailah...".
Gandrung Sewu 2012 berlangsung sukses. Ribuan warga
Banyuwangi memadati Pantai Boom di Desa Mandar, Kecamatan Banyuwangi, sehingga
menimbulkan kemacetan lalu lintas yang luar biasa hingga sekitar 4 km mulai
dari pintu masuk Pantai Boom.
GANDRUNG SEWU 2013 : PAJU GANDRUNG
Pagelaran Gandrung Sewu 2013 mengambil tema Paju Gandrung Sewu, berlangsung pada
23/11/2013 di Pantai Boom, Banyuwangi. Paju Gandrung adalah tarian Gandrung
(perempuan) yang diiringi penari pria (disebut Paju). Tarian ini benar-benar ditampilkan
secara kolosal mengingat ada sebanyak 2.106 penari terlibat dalam event ini,
baik sebagai penari Gandrung maupun pengiringnya (Paju), ditambah 161 kru dan
puluhan penabuh gamelan (wiyogo) dan pesinden.
Pagelaran Paju Gandrung Sewu merupakan sebuah pertunjukan
yang menceritakan cuplikan cerita Gandrung yang berkembang di masyarakat. Paju Gandrung
dipilih sebagai tema karena melibatkan interaksi dengan masyarakat, dimana Paju
adalah penonton pria yang ikut diajak menari. Di Banyuwangi, Paju Gandrung
biasanya dihadirkan pada saat masyarakat Suku Using menggelar hajatan.
Paju Gandrung Sewu diawali dengan pemasangan Kiling oleh
belasan laki-laki berpakaian khas Banyuwangi di tengah lapangan. Killing adalah
kincir angin yang terbuat dari bambu yang tingginya mencapai 10 meter, yang
biasa digunakan petani di Banyuwangi untuk menghalau burung di sawah. Sementara itu,
seorang laki-laki paruh baya membakar menyan.
Setelah kiling terpasang, suasana magis semakin terasa.
Beberapa penari Seblang memasuki lapangan diiringi dengan lagu Banyuwangi “Podo
Nonton”, yang kemudian lagu ini menjadi tema Gandrung Sewu 2015.
Seblang adalah cikal bakal dari penari Gandrung. Lalu muncul
Gandrung pertama seorang laki-laki yang bernama Marsan. Lambat laut Gandrung
berkembang dan lebih banyak dibawakan oleh perempuan yang dimunculkan pada
fragmen seorang penari Gandrung yang diusung menggunakan tandu.
Penari Gandrung yang menggunakan selendang putih tersebut
menggambarkan penari gandrung perempuan pertama yang bernama Gandrung Semi diiringi beberapa penari
Gandrung yang membawakan tarian Jejer Gandrung.
Di fragmen ini, digambarkan penari gandrung yang menari
hingga tengah malam. Dimana pengiring (paju) bergabung dan menari sambil
memberi saweran kepada penari gandrung. Kadang diselingi dengan minuman keras.
Yang membuat citra kesenian gandrung menjadi negatif di mata masyarakat.
Di titik ini kemudian terjadi dialog bahwa praktik negatif
seperti itu akan menghalangi perkembangan tari gandrung di masyarakat. Lalu diakhir
cerita mereka bersepakat bahwa gandrung harus tumbuh di masyarakat dengan citra
positif.
Setelah fragmen tersebut selesai, ribuang gandrung diiringi
pengiring atau yang biasa disebut "paju" masuk ke dalam lapangan.
Usia mereka beragam mulai usia 9 tahun hinggai 71 tahun. Mereka menari Gandrung
bersama-sama diiringi dengan gamelan Kembang
Waru dan Embat-embat.
Salah satu fragmen Paju Gandrung Sewu (foto : Krjogja.com) |
Paju Gandrung Sewu dan ribuan penonton yang menyemut (foto : Tempo.co). |
Penampilan ribuan penari secara kolosal ini membuat bulu
kuduk penonton menjadi merinding. Liukan gerakan penari yang indah dan seirama
mengikuti alunan musik khas Banyuwangi bercampur aroma kemenyan yang dibakar
menciptakan atmosfer magis yang kuat. Begitu juga dengan senyum manis namun
misterius yang selalu hadir dibibir para Gandrung.
GANDRUNG SEWU 2014 : SEBLANG SUBUH
Pagelaran Gandrung Sewu 2014 mengambil tajuk atau tema Seblang Subuh, dibawakan oleh 1.258 penari gandrung, pada 29/11/2014. Seperti tahun-tahun sebelumnya, para
penarinya terdiri dari para pelajar SD, SMP, SMA dan penari Gandrung profesional
di Banyuwangi.
Pada pagelaran Festival Gandrung Sewu yang pertama pada
tahun 2012 ‘Jejer Gandrung’ menjadi episode pembuka, yang dilanjutkan
dengan tema ‘Paju Gandrung’ di tahun kedua, maka di tahun ketiga ini tema ‘Seblang
Subuh’ mengemas tarian Gandrung dengan sajian yang lebih lengkap dan iringan
musik yang rancak, ditambah sedikit sentuhan teatrikal.
GANDRUNG SEWU 2015 : PODO NONTON
Tema
Podo Nonton diangkat karena syairnya mengandung makna heroisme dan perjuangan
sangat berat dari para pendahulu di Bumi Blambangan saat melawan
Belanda. Hal ini dimaksudkan untuk mengingatkan masyarakat akan perjuangan
para pendahulu. Akibat peperangan melawan penjajah, penduduk Banyuwangi yang
kala itu berjumlah puluhan ribu, berkurang menjadi hanya ribuan orang saja.
Pertunjukan Seblang Subuh (sumber : Jawapos.com) |
Festival Gandrung Sewu yang mengangkat tema Seblang Subuh menceritakan
asal-usul Gandrung pada masa pemerintahan Bupati Pringgokusumo, yang merupakan bupati
Banyuwangi yang kelima. Diceritakan kala itu para pejuang menyamar sebagai
penari Gandrung saat berperang melawan penjajah. Gandrung laki-laki ini dikenal
sebagai Gandrung Marsan yang merupakan penari Gandrung laki-laki pertama di
Banyuwangi.
Gandrung Marsan (sumber : Greatindonesia.com) |
Pertunjukan Gandrung Subuh diawali dengan munculnya beberapa
lelaki membawa penjor yang menggambarkan sebagai mantan prajurit Kerajaan
Blambangan. Mereka sedang mengumpulkan rekan-rekan seperjuangannya yang
tersebar pasca peperangan. Setelah terkumpul beberapa orang, mereka
mentasbihkan diri sebagai Gandrung Marsan (Gandrung laki-laki).
Pada awalnya, penari Gandrung memang seorang laki-laki atau
yang biasa disebut Gandrung Marsan. Lambat laun Gandrung berkembang dan lebih
banyak dibawakan perempuan. Penari Gandrung perempuan pertama adalah Gandrung
Semi.
Pertunjukkan kolosal ini dilanjutkan adegan munculnya
Gandrung Semi diikuti ribuan penari gandrung berkostum merah yang menghambur
dari berbagai arah dan kemudian menyatu di satu titik.
Sebuah fragmen Seblang Subuh (foto: Kabarbisnis.com) |
Keberadaan Gandrung Marsan tidak lama. Terjadi peristiwa pajuan, yaitu perebutan posisi sebagai gandrung antara gandrung laki-laki dan gandrung perempuan. Pertikaian diantara mereka dikisahkan berlangsung hingga subuh tiba. Saat terdengar suara adzan subuh, mereka pun tersadar akan kesalahannya. Kedua belah pihak memohon ampun pada Yang Maha Kuasa. Mereka menyadari bahwa menjadi gandrung adalah suratan tangannya, jadi harus dijalani, dan tak perlu diperebutkan.
Ketika itu pula, mereka dinasihati tetua adat agar selalu berhati-hati, karena menjadi gandrung berarti harus berhadapan dengan banyak resiko. Mulai dari pencemaran nama baik, dihina sesama perempuan hingga dilecehkan laki-laki yang lupa diri.
Gandrung Sewu Seblang Subuh (foto : Portalkbr.com) |
Melanjutkan tariannya, ribuan penari itu pun mengembangkan kipas kuning diiringi dengan munculnya Dewi Sri ditengah-tengah para penari. Kemunculan Dewi padi yang melambangkan kesuburan itu pun mengakhiri pertunjukkan tari kolosal di hari yang memasuki senja.
GANDRUNG SEWU 2015 : PODO NONTON
Festival
Gandrung Sewu tahun 2015 kembali digelar di Pantai Boom pada 26/9/2015, kali
ini mengangkat tema Podo Nonton atau nonton bersama. Sebanyak 1.208 penari terlibat dalam pagelaran tari kolosal ini. Tarian
Gandrung sendiri terdiri dari tiga segmen, yaitu Jejer Gandrung, Paju Gandrung
dan sebagai penutupnya, Seblang Subuh. Nah, Podo Nonton adalah
salah satu bagian dari pertunjukan Jejer Gandrung.
Podo
Nonton sejatinya merupakan tembang wajib yang menjadi musik pengiring pada
pertunjukan Jejer Gandrung. Selain Podo Nonton, dalam pertunjukan tari gandrung
sendiri, sebenarnya ada banyak tembang yang dinyanyikan, seperti Sekar Jenar,
Layar Kumendung, Keok-Keok, dan Jaran Dawuk.
Gandrung Sewu 2015 (foto : Detik.com) |
Dalam
Festival Gandrung 2015, tema Podo Nonton dikisahkan dalam sebuah drama
teaterikal, tari dan nyanyian yang sarat pesan dengan mengambil setting sekitar
tahun 1771 Masehi, yang merupakan tahun kelahiran Banyuwangi. Dimana kondisi
saat itu, tanah-tanah di Banyuwangi sangat subur dan makmur. Namun tiba-tiba
Belanda datang dan memporak-porandakan desa dan hasil tani rakyat.
Fragmen penjajah Belanda membantai rakyat dan merampas hasil pertanian (foto : Merdeka.com) |
Dalam
kondisi yang tertindas tersebut, para petani bangkit dan melakukan perlawan
terhadap kesewenang-wenangan tersebut. Hingga akhirnya pecahlah perang awal
antara penduduk pribumi dan kolonial. Di masa peperangan tersebut lalu muncul
tokoh-tokoh yang menjadi motor penggerak perlawanan terhadap penjajah yakni
tokoh Rempeg Jogopati dan Sayuwiwit.
Visualisasi lautan ombak (foto : Detik.com) |
Festival
diawali dengan masuknya ribuan penari Gandrung ke venue dari
segala penjuru. Mereka menari secara rancak dan dinamis. Lalu disusul dengan
fragmen Podo Nonton yang menceritakan bagaimana makmurnya rakyat Banyuwangi
sebelum kedatangan Belanda, hingga Belanda datang merusak tatanan kehidupan rakyat.
Selanjutnya dalam fragmen dipertontonkan perjuangan rakyat Banyuwangi yang
melawan penjajahan Belanda.
Selama fragmen berlangsung, ribuan penari Gandrung itu tetap menari menjadi latar pertunjukkan. Sesekali mereka membentuk formasi di tengah pertunjukan sambil memainkan kipas warna-warninya. Di akhir cerita, ribuan Gandrung tersebut menjelma menjadi lautan ombak, yang memvisualisasikan para pejuang Banyuwangi yang di akhir peperangan mereka dibuang ke Selat Bali.
Selama fragmen berlangsung, ribuan penari Gandrung itu tetap menari menjadi latar pertunjukkan. Sesekali mereka membentuk formasi di tengah pertunjukan sambil memainkan kipas warna-warninya. Di akhir cerita, ribuan Gandrung tersebut menjelma menjadi lautan ombak, yang memvisualisasikan para pejuang Banyuwangi yang di akhir peperangan mereka dibuang ke Selat Bali.
0 komentar:
Posting Komentar