Wisata Banyuwangi - Masyarakat suku Osing Banyuwangi mempunyai tradisi unik dalam rangkaian selamatan desa sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah sekaligus sebagai upacara bersih desa agar seluruh warga diberi keselamatan dan dijauhkan dari segala marabahaya. Ritual yang rutin digelar setiap tahun sekali, tepatnya bulan Muharam atau Suro pada penanggalan Jawa, yang jatuh pada hari minggu antara tanggal 1 sampai 10 suro ini, dikenal warga setempat dengan Ritual Kebo-keboan. Konon tradisi ini sudah berlangsung sejak abad 18. Warga setempat meyakini, jika tidak dilakukan akan muncul musibah di desa mereka.
Kebo-keboan adalah bahasa daerah yang berarti kerbau jadi-jadian. Kerbau dipilih menjadi simbol karena merupakan hewan yang diakui sebagai mitra petani di sawah. Kerbau juga merupakan tumpuan mata pencaharian masyarakat desa yang mayoritas sebagai petani.
Dalam ritual
Kebo-keboan, peserta yang bertubuh tambun berdandan layaknya kerbau (kebo) lengkap dengan tanduk buatan dan
lonceng di lehernya serta melumuri tubuhnya dengan cairan hitam yang terbuat
dari oli dan arang. Mereka juga menarik bajak mengeliling sepanjang jalan
desa dengan di iringi dengan musik khas Banyuwangi, sebagai ritual sakral untuk
meminta berkah keselamatan dan wujud bersih desa.
Di Banyuwangi, ritual Kebo-keboan telah menjadi tradisi
turun-temurun yang dilakukan oleh penduduk Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi dan
Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh.
Kebo-keboan dalam Karnaval Banyuwangi Ethno Carnival 2013. |
Walaupun intinya sama, tapi terdapat beberapa perbedaan
antara ritual kebo-keboan di kedua desa tersebut. Menurut budayawan Banyuwangi
Hasnan Singodimayan, 79, meski sama-sama sebagai ritual kerbau jadi-jadian, apa
yang terjadi di Desa Aliyan dan Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh agak
sedikit berbeda.
Keboan dan Kebo-Keboan
Yang di Desa Aliyan itu namanya Keboan, bukan Kebo-keboan. Kata Hasnan, nama Kebo-keboan lebih dikenal di Alasmalang. "Masyarakat desa yang menjadi `manusia kerbau` di desa Aliyan tidak ditentukan oleh pemuka adat desa setempat. Melainkan arwah leluhur yang memilih siapa saja yang menjadi Keboan. Sedangkan di desa Alasmalang, pemeran Kebo-keboan dipilih oleh pemuka adat," kata Hasnan Singodimayan.
Meski namanya Keboan, ritual ini tidak menggunakan hewan kerbau sebagai sarana upacara. Kerbau yang digunakan adalah binatang jadi-jadian berupa manusia berdandan mirip kerbau, lalu beraksi layaknya kerbau di sawah.
Pelaku
Hampir semua pemain Keboan di desa Aliyan kesurupan roh leluhur.
Semalam sebelum tampil, orang-orang yang menjadi pemeran kerbau bisa kesurupan
roh leluhur. "Perangai orang yang kesurupan mirip kerbau. Hampir semua
pemain Keboan di desa Aliyan kesurupan roh leluhur. Kalau di desa Alasmalang
tidak semua kesurupan roh leluhur," katanya.
Jumlah pemeran Kebo-keboan di Desa Alasmalang sekitar 18 orang. Sementara jumlah Keboan desa Aliyan tidak tentu. "Kadang banyak yang jadi `keboan` tahun ini, tahun berikutnya bisa jadi jumlahnya menyusut," papar Hasnan.
Para pemeran "kebo-keboan" dan Dewi Sri Desa Alasmalang dipilih oleh ketua adat setempat, sedangkan pemeran "keboan" dan Dewi Sri desa Aliyan dipilih oleh leluhur langsung.
Jumlah pemeran Kebo-keboan di Desa Alasmalang sekitar 18 orang. Sementara jumlah Keboan desa Aliyan tidak tentu. "Kadang banyak yang jadi `keboan` tahun ini, tahun berikutnya bisa jadi jumlahnya menyusut," papar Hasnan.
Para pemeran "kebo-keboan" dan Dewi Sri Desa Alasmalang dipilih oleh ketua adat setempat, sedangkan pemeran "keboan" dan Dewi Sri desa Aliyan dipilih oleh leluhur langsung.
Keboan Desa Aliyan
Keboan Desa Aliyan |
Menurut sejarahnya, tradisi Keboan berawal dari datangnya
wabah penyakit yang menyerang lahan pertanian selama bertahun-tahun. Buyut
Wongso Kenongo, pendiri cikal-bakal Desa Aliyan, sekitar abad-18 meminta
petunjuk kepada Sang Pencipta. Ia mendapat wangsit agar anaknya, Joko Pekik,
ikut bermeditasi.
Terjadilah hal yang aneh. Joko Pekik mendadak berperilaku seperti kerbau. Dia berguling-guling di persawahan. Setelah itu hama penyakit yang menyerang persawahan warga menghilang. Sejak itu ritual tolak bala Keboan berlangsung turun-temurun agar masyarakat desa terhindar dari malapetaka serta hasil panen melimpah.
Di Desa Aliyan sendiri terdapat dua dusun yang mempertahankan tradisi Keboan, yaitu di Dusun Aliyan dan Dusun Sukodono. Kedua dusun ini berkaitan dengan kedua putra Buyut Wongso Kenongso, Buyut Petir dan Buyut Tari. Buyut Pekik menjadi leluhur masyarakat Desa Aliyan, sementara Buyut Turi menjadi leluhur Dusun Sukodono.
Warga beda keturunan itu hingga sekarang tidak bisa akur dalam segala hal. Oleh karena itu, meskipun tradisi Keboan Desa Aliyan meskipun ritualnya sama dan digelar pada hari yang sama, namun waktu pelaksanaan dan jalur ider bumi yang dilewati oleh Keboan berbeda. Sebab jika Keboan dari keturunan leluhur yang berbeda ini bertemu maka akan terjadi saling serang. Setelah diberi doa di Balai Desa Aliyan, "keboan" asal Sukodono bergerak ke Kedawung dan Sukodono, dan selanjutnya mampir ke makam Buyut Turi. Sementara "keboan" asal Aliyan bergerak ke Aliyan Krajan, Timurjo, dan Cempokosari, dan kemudian mampir ke makam Buyut Pekik.
Terjadilah hal yang aneh. Joko Pekik mendadak berperilaku seperti kerbau. Dia berguling-guling di persawahan. Setelah itu hama penyakit yang menyerang persawahan warga menghilang. Sejak itu ritual tolak bala Keboan berlangsung turun-temurun agar masyarakat desa terhindar dari malapetaka serta hasil panen melimpah.
Di Desa Aliyan sendiri terdapat dua dusun yang mempertahankan tradisi Keboan, yaitu di Dusun Aliyan dan Dusun Sukodono. Kedua dusun ini berkaitan dengan kedua putra Buyut Wongso Kenongso, Buyut Petir dan Buyut Tari. Buyut Pekik menjadi leluhur masyarakat Desa Aliyan, sementara Buyut Turi menjadi leluhur Dusun Sukodono.
Warga beda keturunan itu hingga sekarang tidak bisa akur dalam segala hal. Oleh karena itu, meskipun tradisi Keboan Desa Aliyan meskipun ritualnya sama dan digelar pada hari yang sama, namun waktu pelaksanaan dan jalur ider bumi yang dilewati oleh Keboan berbeda. Sebab jika Keboan dari keturunan leluhur yang berbeda ini bertemu maka akan terjadi saling serang. Setelah diberi doa di Balai Desa Aliyan, "keboan" asal Sukodono bergerak ke Kedawung dan Sukodono, dan selanjutnya mampir ke makam Buyut Turi. Sementara "keboan" asal Aliyan bergerak ke Aliyan Krajan, Timurjo, dan Cempokosari, dan kemudian mampir ke makam Buyut Pekik.
Ritual Keboan Desa Aliyan ini diawali dengan mendirikan
gapura dari bambu yang dihiasi dengan hasil pertanian masyarakat setempat seperti
padi, jagung, tebu, dan beraneka macam buah-buahan serta sayuran. Gapura
tersebut didirikan di setiap gang yang ada di desa sebagai simbol kesuburan.
Selanjutnya mereka menggelar selamatan di empat penjuru desa yang dipimpin
sesepuh desa. Doa dipimpin sesepuh desa. Doa ditujukan kepada yang maha kuasa
dan pendiri Desa Ki Buyut Wongso Kenongo, agar seluruh warga dijauhkan dari
mara bahaya.
Usai selamatan, dimulailah arak-arakan kerbau manusia. Mereka
akan diarak layaknya kerbau yang sedang membajak sawah oleh para petani serta
seorang perempuan cantik sebagai simbol Dewi Sri yang menaburkan benih padi sepanjang jalan
desa. . Mereka terbagi dua kelompok, yaitu kelompok timur di wilayah Dusun
Krajan, Cempokosari dan Temurejo. Sedangkan untuk kelompok barat masuk wilayah
Dusun Sukodono, Kedawung dan Damrejo.
Manusia yang menjadi "keboan" bergerak ke sana ke
mari tanpa kenal lelah. Ada warga yang mengikuti pergerakan "keboan".
Bila lelaki dewasa yang menjadi "keboan" maka pengiringnya adalah
lelaki dewasa. Sebaliknya, bila yang menjadi "keboan" lelaki remaja,
pengiringnya berusia sebaya.
Pengiring tidak bisa memaksa "keboan" untuk
bergerak ke mana-mana. Hanya sebatas mengarahkan. Bahkan waktu acara ritual
tolak bala kapan dibuka terserah kemauan leluhur.
Namun ditengah perjalanan, para kerbau manusia ini mendadak
kesurupan. Mereka ini kerasukan roh leluhur desa. Setiap
orang yang "dipilih" leluhur menjadi "keboan" tidak bisa
mengelak. Sekali roh nenek moyang merasuki tubuh seorang warga desa, maka
segala tindak-tanduk orang tersebut seperti kerbau.
Mereka berlarian kesegala arah untuk mencari kubangan
lumpur. Menyeruduk warga yang melihat. Kemudian
mereka satu per satu mencemplungkan diri di dua kubangan lumpur dekat
balai desa. Tak pelak, rambut dan celana pendek mereka menjadi basah.
Mereka terlihat saling melempar air selokan menggunakan
timba. Tidak boleh marah bila terkena siraman air. Bila terkena, dipersilakan
untuk mengambil air dari selokan, kemudian air itu disiramkan ke arah kerumunan
orang.
Begitu juga bila warga ada yang ditarik oleh
"keboan" ke dalam kubangan lumpur, juga tidak boleh marah. Semua
warga membaur, saling siram air selokan, dan ada yang "dibanting"
manusia "keboan" ke dalam kubangan lumpur. Lokasi dan ukuran kubangan
lumpur ini ditentukan ’leluhur’.
Warga desa Aliyan menganggap benih padi yang dicuri bila
ditanam di sawah, diyakini dapat membawa panen yang melimpah dan dijauhi
hama. Benih padi itulah yang diarak keliling desa menggunakan becak hias
sebagai bagian dari ritual tolak bala di Desa Aliyan, Banyuwangi.
Pada saat akhir acara mereka yang tidak sadar dikumpulkan di
halaman Balai Desa Aliyan dan berkubang di lumpur yang telah disediakan. Ada
sekitar 80 lelaki yang bertingkah seperti kerbau dan sesekali mengendus ke
penonton untuk diberi wewangian seperti dupa, kemenyan dan minyak wangi.
Beberapa keluarga membawa timba yang berisi air untuk membersihkan wajah mereka
yang kesurupan.
Setelah ritual selesai, setiap lelaki yang kerasukan akan digotong
pulang oleh keluarganya karena kondisi mereka sudah tidak kuat apa-apa,
termasuk jalan pulang ke rumah.
Kebo-Keboan Alas Malang
Upacara kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran). Dipilihnya hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti jalannya upacara. Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat.
Munculnya ritual Kebo-keboan di Alasmalang berawal dari terjadinya musibah
pagebluk. Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman.
Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi
genting itu, Mbah Karti sebagai sesepuh desa kala itu melakukan meditasi di
bukit. Selama meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya,
warga desa melaksanakan ritual selamatan desa dengan menggelar ritual Kebo-keboan
dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kesuburan dan
kemakmuran. Setelah ritual adat tersebut dilakukan, wabah yang melanda desa pun
hilang. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi
sirna. Sejak itu, ritual Kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut terkena musibah
jika tidak melaksanakannya.Upacara kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran). Dipilihnya hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti jalannya upacara. Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat.
Satu minggu menjelang waktu upacara kebo-keboan
tiba, warga masyarakat yang berada di Dusun Krajan mengadakan kegiatan gotong
royong untuk membersihkan lingkungan rumah dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari
menjelang pelaksanaan upacara, para ibu bersama-sama mempersiapkan sesajen yang
terdiri atas: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam
dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai perlengkapan
upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras,
pisang, kelapa dan bibit tanaman padi. Seluruh sesajen tersebut selain untuk
acara selamatan, nantinya juga akan ditempatkan di setiap perempatan jalan yang
ada di Dusun Krajan.
Pada malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang ditanam.
Pada malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang ditanam.
Pagi harinya, sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di
Petaunan yang dihadiri oleh panitia upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa
warga masyarakat Krajan. Pelaksanaan upacara di tempat ini berlangsung cukup
sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari pihak panitia upacara,
kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin dan diakhiri dengan kenduri
dan makan tumpeng bersama yang berjumlah 12 buah, yang melambangkan perputaran
roda kehidupan manusia 12 jam sehari dan 12 jam semalam. Lalu dimulailah ider bumi yang merupakan puncak acara.
Para peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap kebo-keboan berjumlah dua orang), para pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain barongan dan warga Dusun Krajan akan melakukan pawai ider bumi mengeliling Dusun Krajan. Di depan mereka ada seorang perempuan cantik sebagai simbol Dewi Sri membawa benih pagi.
Pawai ider bumi ini dimulai di Petahunan kemudian menuju ke
bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun Krajan. Sesampainya di
bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan segera membuka bendungan
sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami
tanaman palawija oleh para pemuda. Sementara, para peserta upacara segera
menuju ke areal persawahan milik warga Dusun Krajan.
Setelah tiba di sawah, perempuan yang berperan sebagai Dewi Sri tersebut akan menaburkan benih padi yang akan diperebutkan oleh para petani.
Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah untuk menanam benih padi yang diyakini membawa berkah.
Setelah tiba di sawah, perempuan yang berperan sebagai Dewi Sri tersebut akan menaburkan benih padi yang akan diperebutkan oleh para petani.
Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah untuk menanam benih padi yang diyakini membawa berkah.
Setelah benih tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang baru ditanam tersebut. Meskipun harus berkubang lumpur, ratusan warga, baik laki-laki, perempuan, baik tua maupun muda, rela berebut bibit padi ini karena dipercaya dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan serta membawa berkah.
Mereka percaya jika mendapatkan benih padi tersebut lalu dicampurkan pada benih padi lainnya hasil panen akan bagus dan melimpah. Keriuhan pun terjadi antara petani yang berebut benih padi dengan "kebo-keboan" yang mengiringi Dewi Sri. Mereka yang bergulat dan bergumul di lumpur menjadi atraksi yang menarik dan menegangkan bagi warga yang menyaksikan
Kebo-keboan sedang mengejar warga yang mengambil benih yang baru ditanam. |
Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para
kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga menjadi
trance, akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai
pengganggu. Namun, para kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para pengambil
benih karena sang pawang selalu mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa
cukup, maka sang pawang akan menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan
pitung tawar pada bagian kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke
Petahunan.
Sesampainya di Petahunan, peserta upacara kembali ke rumah masing-masing sambil membawa padi yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan juga sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petahunan untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya kesenian wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara kebo-keboan di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi.
Sesampainya di Petahunan, peserta upacara kembali ke rumah masing-masing sambil membawa padi yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan juga sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petahunan untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya kesenian wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara kebo-keboan di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi.
0 komentar:
Posting Komentar